Tuesday, August 24, 2010

Kata demi cinta...

Dari hati..
Kurasakan semua ini karena aku berharap dapatkan yg terbaik dlm hdupku atas keyakinanku kepadaMU.Apakah mungkin aku blm bisa menjawab tentang apa yg ada & apa yg kurasa.Begitu banyak kata maaf yg ingin kukatakan saat ku tak ingin membuka hati tuk saat ini hanya karena aku tak ingin melukai hati manusia.Satu sisi yg pasti, aku hanya manusia biasa yg jauh dari kesempurnaan & aku tak mau menodai cinta yg sesungguhnya. Kini aku terjebak dalam sebuah dilema antara cinta & realita yg kupertanyakan.
Cinta kpd Tuhan karena aku msh bs mnikmati hidup,& cinta krn naluriku seorang wanita yg tergoda oleh pria..Cinta yg kupertanyakan membuat hati merasa gundah disaat ku takut cinta membuat ku terjatuh dlm ketidak pastian hati yg membuat hidup dlm bayang2 kehancuran dari Tuhan ketika aku masih terbayang akan kegagalan yg pernah kualami. Seperti cahaya bulan & cahaya matahari yg bersinar di saat yg berbeda antara pagi & malam hari.
Kata demi kata tercipta dari hati seorang manusia dimana cinta yg ada tak bisa dipaksakan bila Tuhan tak mengizinkan aku utk dapatkan cinta yg kuinginkan.
Biarkan ku merasakan hidup yg SEHARUSNYA kulewati apa adanya..
Hidup tanpa cinta bkn berarti aku tak bisa mencintai atau dicintai,tapi ku selalu ingin berusaha memberi yg tebaik.Kubiarkan Tuhanku membiarkan memberi jalan untukku ketika telah tiba saatnya suatu saat nanti.Semoga Tuhan mendengar & mengerti isi hatiku..amien

LAND CONSERVATION ON ECONOMY AND SOSCIOLOGY PERSPECTIVE

Abstrak

Pangan adalah sumber energi bagi manusia dan pangan merupakan salah satu tujuan kenapa manusia berusaha dan melakukan kegiatan. Upaya memperoleh sumber pangan tidaklah terlepas dari peran sektor pertanian dalam rangka meningkatkan kuantitas dan kualitas pangan yang harus tersedia bagi masyarakat secara keseluruhan. Akan tetapi upaya pengadaan pangan seringkali terhambat dengan fenomena yang terjadi dilingkungan sekitar, dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk diikuti dengan semakin besarnya kebutuhan pangan yang tersedia seringkali menjadi penghambat, belum lagi perilaku manusia yang diikuti dengan semakin berkembangnya pengetahuan dan teknologi yang ditemukan yang mendasari motivasi manusia untuk menemukan suatu inovasi dalam rangka meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber pangan. Seringkali inovasi yang pada awalnya ditemukan bertujuan untuk meningkatkan sumber pangan, akan tetapi justru menjadi kendala bagi tujuan manusia tersebut. Sehingga seringkali pengetahuan dan teknologi justru menjebak manusia dalam dampak negatif yang dihasilkan setelahnya.
Untuk itu, upaya pelestarian/konservasi lahan khususnya lahan pertanian haruslah menjadi fokus bagi pemerintah dan masyarakat dalam rangka mengatasi potensi-potensi dan dampak yang bisa terjadi akibat semakin berkembangnya teknologi dan pengetahuan serta semakin besarnya tuntutan kebutuhan masyarakat akan ketersediaan pangan yang cukup dan berkualitas.
Adapun dalam artikel ini, dijelaskan bahwa peran masyarakat yang dikenal sebagai social capital sangatlah penting. Karena dengan peran dan keterlibatan masyarakat ini merupakan suatu modal kuat bagi eksistensi dan kesinambungan, serta daya dukung bagi program peningkatan kuantitas dan kualitas sumber pangan, sekaligus menjaga kelestarian alam yang pada nantinya akan kita wariskan bagi generasi selanjutnya.
Selain faktor-faktor sosiologis, faktor-faktor ekonomis seperti cost-benefit framework sebagai landasan penentuan kebijakan pemerintah maupun komunitas masyarakat juga patut diperhatikan, karena jika kita bicara mengenai upaya pelestarian alam berarti kita juga bicara mengenai suatu kegiatan investasi, yang jika dipandang sepintas tidaklah terlalu menguntungkan dalam jangka pendek tetapi justru akan dirasakan manfaatnya dalam jangka waktu panjang. Dengan kata lain investasi yang berkaitan dengan upaya kelestarian alam/lahan akan dirasakan baru setelah beberapa tahun kemudian. Namun demikian setelah dipelajari dan dipertimbangkan lebih jauh lagi, jenis investasi ini justru akan menghasilkan hasil yang jauh berlipat ganda daripada biaya yang telah dikeluarkan.

Kata kunci: kebijakan, konservasi lahan pertanian, social capital, dan cost-benefit framework

ANALISIS LEADING INDICATOR DENGAN MENGGUNAKAN COMPOSITE LEADING INDEX TERHADAP PENERIMAAN PAJAK DALAM NEGERI DI INDONESIA

ABSTRAK
(OLEH: F.SANTI)
Pajak sebagai salah satu instrument kebijakan fiskal di Indonesia selain pengeluaran pemerintah, merupakan hal yang sangat penting untuk dianalisis. Ketidaksesuaian antara target pajak dengan realisasinya menjadi suatu hal yang perlu diperhatikan. Selain itu, kontribusi yang besar yang diberikan pajak terhadap penerimaan negara membuat pajak penting untuk dianalisis. Untuk membantu pemerintah khususnya para pengambil kebijakan di bidang pajak, maka diperlukan suatu analisis mengenai keadaan pajak dimasa yang akan datang. Setelah nantinya diketahui bagaimana keadaan pajak dalam beberapa waktu ke depan, pemerintah dapat lebih mudah untuk mengambil kebijakan apa yang harus dilakukan terkait dengan peningkatan penerimaan pajak untuk negara. Salah satu solusinya adalah dengan menggunakan Composite Leading Index (CLI) yang banyak digunakan oleh beberapa negara untuk memprediksi keadaan perekonomian di negara yang bersangkutan.
Pentingnya keberadaan pajak dalam proses pembangunan di Indonesia, membuat penelitian tentang leading indicator menjadi penting untuk dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha menganalisis leading indicator untuk pajak di Indonesia. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: (i) menganalisis CLI untuk pajak yang terdiri dari beberapa variabel yang memiliki keterkaitan erat dengan pajak, (ii) menganalisis leading, lagging, ataupun coincident indicator untuk pajak, (iii) menghasilkan dan mengevaluasi CLI yang telah dibuat terhadap pergerakan seri acuan yaitu pajak.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode pembentukan CLI yang dikembangkan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Proses penghilangan unsur musiman dan irregular menggunakan program seasonal adjusted dari software Eviews 7.0 tidak dilakukan karena data yang digunakan dalam penelitian ini dalam bentuk tahunan. Estimasi trend dilakukan menggunakan metode Hodrick-Prescott filter yang juga dilakukan dengan menggunakan software Eviews 7.0. Dalam menentukan titik balik dari seri acuan pajak dan CLI menggunakan acuan pada prosedur Bry-Boschan. Sedangkan penentuan kriteria Business Cycle Indicator (BCI) dilakukan melalui analisis visual grafik dan analisis korelasi silang.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada enam titik balik untuk pajak, yang terdiri dari tiga titik lembah dan tiga titik puncak, sehingga pajak memiliki dua siklus dengan masing-masing durasi siklus adalah 8 tahun dan 2 tahun. Dari 6 variabel yang dianalisis, hanya ada dua yang tergolong sebagai leading indicator yaitu nilai tukar dan ekspor CPO.
CLI yang dibentuk dari kumpulan leading indicator tersebut, terlihat mampu memprediksi pergerakan siklikal dari seri acuannya yaitu pajak. Kemampuan prediksi CLI pajak mempunyai kisaran jarak antara 0.31 tahun s/d 5.6 tahun.
Berdasarkan hasil penelitian, meskipun CLI yang dibentuk mampu memprediksi pergerakan siklikal dari seri acuannya yaitu pajak, tetapi nilai koefisien korelasinya hanya sebesar 0.598 yang berarti penelitian ini masih perlu dilakukan penelitian-penelitian lanjutan. Komposit yang dihasilkan perlu terus diuji dengan data terbaru dan dengan menambahkan jumlah observasi agar CLI yang dihasilkan dapat lebih baik. Pentingnya pembentukan CLI untuk pajak, dapat membantu pemerintah dan pihak yang bertindak sebagai policy maker dalam menetapkan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pajak, karena dalam penelitian ini ternyata diketahui variable nilai tukar dan ekspor CPO yang diketahui sebagai leading indicators, maka berkaitan dengan implikasi kebijakan yang bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan adalah mengenai kebijakan moneter pemerintah, yang mana dalam hal ini pemerintah harus mampu menjaga kestabilan nilai tukar dalam negeri terhadap mata uang asing, karena factor nilai tukar diketahui cukup berpengaruh secara signifikan dalam peningkatan penerimaan pajak. Begitupula dengan variabel ekspor CPO yang juga merupakan salah satu leading indicators, berkaitan dengan kebijakan pemerintah maka dalam hal ini pemerintah juga sebaiknya perlu memperhatikan pengaruh jumlah ekspor (terutama eskpor CPO) terhadapa penerimaan pajak. Dengan kagta lain peningkatan jumlah ekspor dari tahun ketahun juga harus dapat diimbangi dengan penerimaan fiscal dari pajak ekspor itu sendiri. Maksud dan tujuan dari peningkatan penerimaan pajak dari ekspor (khususnya CPO) supaya surplus dari nilai ekspor tersebut dapat dialokasikan pemerintah kepada sector-sektor lainnya sehingga terjadilah alokasi anggaran antar sektoral untuk mencapai pembangunan ekonomi nasional.
Kata Kunci:CLI, Business Cycle, dan Kebijakan

costs n benefits of redomination (the empirical study)

I. The Theory of Currency Redenomination

Technically, currency redenomination is defined as the process whereby a country’s currency is recalibrated due to significant inflation and currency devaluation. In general terms, however, it is simply referred to as the “dropping of zeros” from a currency.

For example, in January 2005, Turkey dropped or removed 6 zeros from its currency, the Lira (L), and replaced it with the new Turkish Lira (YTL) with conversion rate of million lira (1,000,000L) = one YTL (1YTL). Also, in July 2005, Romania dropped or “knocked off” four zeros from its currency, the leu (ROL), when it replaced it with the new Romanian leu (RON) with a conversion rate of 10,000ROL = 1RON. In July 2007, the Ghana redenominated its currency, the cedi, by making one new Ghanaian cedi (GHc) equal to 10,000 old cedi (c), i.e. by dropping four zeros. Come August 2008, the CBN plans to convert 100 naira into one new naira, i.e. drop two zeros.

The introduction of a single European currency, the Euro, on January 1, 1999 can be viewed as a redenomination of the national currencies of some of the participating countries that had high “old currency”/Euro or dollar ratios such, as Italy, Portugal, Spain and Belgium because their conversion rates were fixed at 1 Euro = 1,936.27 Italian Lira (ITL) = 200.482 Portuguese Escudo (PTE) = 166.386 Spanish Peseta (ESP) = 40.3399 Belgian Franc (BEF) = 1.18 US Dollar. However, the Euro was physically non-existent until January 1, 2002 (“E-day”).

Currency redenomination is not a new phenomenon. It dates back to the 19th century but the most spectacular one was that of the German currency in the 1920s. According to Layna Mosley[i], “Among developing and transition nations, currency redenomination was employed on 60 occasions during the 1960-2003 period. These redenominations varied in size, from removing one zero from the currency (14 instances) to removing six zeros (9 instances); the median redenomination was three zeros, dividing the currency by 1000. Nineteen countries have used redenomination on one occasion, while ten countries have redenominated twice (sometimes, with many years in between, as in Bolivia, in 1963 and 1987; in other cases, redenominations follow rather quickly, as in Peru in 1985 and 1991). Argentina (4), the former Yugoslavia/Serbia (5), and Brazil (6) are the most frequent users of redenomination”.

In the ongoing debate about the redenomination of the Nigerian currency, some commentators have been using the terms redenomination and revaluation interchangeably, i.e. to mean the same thing. Technically, this is wrong. Currency redenomination is different from both currency revaluation and currency appreciation. In strict terms, redenomination does not increase the “value” (or strength) of a currency in relation to other currencies per se. What happens when a currency is redenominated is that some zeros are dropped in the official exchange rate at “conversion” date, e.g. one US dollar = 1.25 new Naira (NN) = 125 “old naira” (N) on August 1, 2008 (i.e. NN1.0 = N100.00). On the other hand, currency revaluation is an increase in the value of a currency vis-à-vis other currencies under a fixed exchange rate system, i.e. when the government or monetary authorities arbitrarily fix the exchange rate. For instance, the naira is revalued when the exchange rate is changed from IUS$ =N130 to 1US$ = N125, i.e. increase in the value or strength of the naira because you now need fewer naira to buy a dollar. Devaluation is the opposite of revaluation, i.e. a decrease in the value of a currency via-a-vis other currencies under a fixed exchange rate system, e.g. change from 1US$=N125 to 1US$ to N130, meaning a decrease or fall in the strength or value of the naira because you will need more naira to buy a dollar. The terms currency appreciation and depreciation are used to describe a decrease and increase, respectively, in the value or strength of a currency vis-à-vis other currencies under a floating exchange rate system, i.e. when market forces generate changes in the value of the currency. However, it is possible for currency redenomination to occur (pari passu) with revaluation or appreciation, for instance, if on the day of redenomination in August 2008, the new exchange rate is fixed 1US$=NN1.25 when the exchange rate just before the redenomination was 1US$=N128 (with NN1.0 = N100). Similarly, redenomination can occur with devaluation or depreciation if the exchange rate is fixed at 1US$=NN1.25 when the exchange rate just before the redenomination was 1US$=N123.
It appears that the CBN is aiming for both redenomination and revaluation or appreciation (depending on how they intend to go about it) in August 2008 since the official exchange rate is likely to be above 1US$ =N125 by that time.

What will push a country to redenominate its currency and risk the costs and uncertainty associated with the exercise? The answer to this question is implicit in the technical definition of redenomination offered above. Most countries redenominate their currencies because of prolonged high inflation (or hyperinflation) coupled with significant devaluation/depreciation of the currency resulting in a situation where hundreds or thousands of their currency is exchanged for a unit of major international currencies. For instance, almost 10,000 Ghanaian cedis were exchanged for 1 US dollar before the redenomination of the cedi in July 2007. However, not all countries suffering from high inflation and/or are having very high local currency dollar ratios find it necessary to redenominated their currency. Some countries are very cautious about redenomination. Still, other countries with relatively low currency/dollar ratios (less than 200) and relatively low inflation rates (less than 30%) still go ahead to redenominate their currency for variety of reasons. The latter appears to be case of Nigeria
In an Press Release issued on October 13, 2004, Robert Mundell, Professor of Economics at Columbia University, cautioned South Korea on its planned redenomination, noting that “the redenomination the Korean government pursues should not be considered as a cure for all currency issues….the 1923 German Currency Reform… was pushed through because the German currency unit back in 1923 was a `trillion' and the elimination of zero triggered significant economic repercussion... Korea does not have to rush the introduction of a currency redenomination because the Korean currency unit is not in jeopardy, as was witnessed in Germany… Asian countries should put priority on creating `Asian common currency'…Korea should make the economy more productive,…in order to heighten productivity, it is of great importance to take excellent advantage of human capital. It includes increasing quality human capital, expanding work force by reducing unemployed and encouraging active participation of female workers."

So, why should a country with moderate inflation rates (say less than 15% p.a.) and/or has a relatively stable currency redenominate its currency? This is the question the CBN must answer because Nigeria’s rate of inflation and exchange rate have been relatively stable over the past five years.[iii] Under these conditions, there is need to exercise caution to ensure that the cost of redenomination does not outweigh the benefit. This is why many countries with exchange rates of less than 200 units of their currency to the US dollar do not deem it necessary to embark on redenomination. For instance, Japan with an exchange rate of 117Yen = 1USdollar has resisted the temptation and pressures to redenominate the Yen. Clearly, there may be other compelling reasons why a country may decide to go ahead to redenominated its currency even when less than 200 units of its currency is exchanging for the dollar. In his speech, the CBN alluded to some of these reasons such as: a) to restore the value of the Naira (in the short-term) close to what it was in 1985 before the commencement of the SAP in 1986; and b) to lay the foundation for the convertibility of the Naira as well as make it the ‘Reference currency’ in Africa. The later reason is based on the fact that “The African Union has granted Nigeria the right to host the Headquarters of the African Central Bank when the common currency in Africa materializes. Nigeria must therefore lead the way in terms of properly aligned currency structure and sound monetary policy framework”. What is not clear is when the ACB will be established and when the common African currency (which I will call “Afro”) will materialize. It is also not clear what is meant by “reference currency” in Africa.

II. Benefits of Redenomination

The following are some of the standard benefits of currency redenomination.
1. Generally, redenomination leads to a more efficient local currency by knocking off some zeros. When there are too many zeros, many transactions are conducted in thousands, millions, billions and trillions which make counting and calculation difficult and put stress on book-keepers and electronic calculators. For instance, many traders in Nigeria hire people to count money for them in banking halls. In Ghana, before the recent redenomination, the rent of an average apartment was about 4,950,000 cedi (i.e. US$500) a month or about 59,400,000 cedi ($6,000) a year which landlord usually demanded upfront. Imagine paying almost 100,000,000 (100million) cedis for a Kia Rio sedan car!

2. Redenomination facilitates business transactions because it leads to the use of smaller units of money. For instance, Ghanaians now pay only 10,000 New Ghanaian Cedi to buy a new car instead of 100,000,000 cedi previously. In Nigeria, we will pay only about 5,000 New Naira to buy a used car instead of 500,000 naira currently. Such a reduction in the unit of money required for transactions will relieve both buyers and sellers of the burden of counting large sums of money.

3. Redenomination leads to a more portable currency and a significant reduction in the dead weight of the money people carry and the associated risk, e.g. attack by robbers. For instance, before Germany redenominated its currency in 1923, people carried currency (money) in bags to the market and returned home with the items purchased in their pockets. In other words, the money was bulkier than most items purchased. Although Nigeria has not reached that stage, many traders now carry money in the so-called “Ghana-must-go” bags. Most people are afraid to withdraw large sums of money (say N500,000) from the bank because they have to put the bales of money in a bag and whenever they step out of the bank it is clear to people outside that they have withdrawn large sums of money. Robbers are known to have trailed people as soon as they come out of the banks with bags of money. After redenomination, it will be possible to put NN5,000 (=N500,000) in a small wallet or in your breast pocket.

4. Redenomination reduces the phenomenon of money illusion that people suffer from when there are many zeros. Money illusion tends to generate inflationary pressure.

5. Redenomination leads to greater confidence in the currency. When there are many zeros, people loss confidence in the local currency and some people, especially the rich, substitute the weak local currency in their portfolios with more stable and internationally traded currencies, such as dollars and euros. When there is a high local currency/dollar ratio, many businesses quote prices in dollars or other international currencies. This leads to an increasing “dollarisation” of the local economy which in turn weakens monetary sovereignty and the effectiveness of monetary policy. After redenomination, businesses and citizens may be more willing to shift their preference to the local currency rather than to an international currency. Hence, the dropping of zeros restores credibility and confidence in the local currency and enables the government and the central bank to reassert their monetary sovereignty. It also enhances the effectiveness of monetary policy because it enables the local currency to better serve as a “true legal tender”. Before the recent redenomination of the Ghanaian cedi, it was ranked as the 5th in the list of 26 least valued (i.e. “most unwanted) currencies in the world. With the redenomination, it has left this list. The Nigerian currency, the naira, is not yet in the list of “most unwanted” currencies in the world.

6. Redenomination can sometimes reduce inflationary tendencies in an economy if the underlying causes of chronic or hyperinflation and low valued local currency are resolved before the redenomination exercise and if the process is well managed. This is why re-denomination should be implemented in the latter stages of an economic stabilization package or reform. Historical evidence suggests that redenomination had been very successful in an environment of macroeconomic stability, declining inflation, stable exchange rates, fiscal restraint and prudence and rational expectations of policy credibility.

7. Redenomination is sometimes used to indicate that era of failed economic policies has come to an end and that the economy is poised to start on a new slate. This helps to increase confidence in the economy and sends a signal to both the local community and the international markets that high inflation and general macro-economic instability are a thing of the past. In the case of the Nigeria, the CBN intends to use the redenomination exercise to signal the “burial”(and reversal) of the post 1986 SAP policies.
Multiple zeros complicate statistics and transactions and increase the length of time spent in lines at banking halls. Thus, dropping zeros enhances book-keeping and reduces the drudgery in transactions, record keeping and banking activities.


III. Costs and Risks of currency Redenomination

The main costs and risks of currency redenomination include the following:

1. Cost of printing new notes and minting new coins. In the long-run this cost may be offset by the reduced number of notes that will be printed in future due to the reduction in the amount of notes for transactions.

2. The cost of disposing of the old notes and coins. This is likely to be small but there is a risk that some of the old notes may be re-circulated or round-tripped. It has been reported in some countries that officials who were charged the responsibility of destroying the exchanged (old) notes and coins secretly “smuggle” then back into circulation to be re-exchanged into the new currency. This could result in multiple “round-tripping” of the old currency which can fuel inflation. Therefore, the banking authorities must ensure that notes and coins withdrawn do not find their way into circulation.

3. The cost of public education and advertising the change to citizens. This could be substantial.

4. The cost of exchanging the old currency for the new currency in terms of man-hours lost in waiting in banking halls, changing records and dual accounting in both old and new currencies during the “interim” period.

5. Risk of massive disruption in the pricing mechanism in the economy and short-term inflationary pressure arising from the “announcement effect”. No matter the assurances from the CBN, a major economic policy like currency change is bound to trigger inflationary pressure due to the uncertainty such changes generate. However, the inflationary impact may be curtailed with effective public education and anti-inflationary policies, e.g. ensuring abundant supply of petroleum products and stable prices of petroleum products and government-provided services. In a country with a low level of financial literacy like Nigeria, determining new prices for goods and services could be a challenge for many traders, farmers and operators in the informal sector.

6. If there is change to proposed ECO currency (for the West African Monetary Zone) or “AFRO” (for the proposed “African Union Monetary Zone”) within the next five years, then the whole exercise of naira redenomination would have been unnecessary and the associated costs would have been an “avoidable cost” to the nation. However, it is not known yet if and when the ECO or AFRO will be introduced given the fact that the proposed ECO currency has been deferred several times already. It took the European Union about five years from the decision to introduce the Euro currency to its full implementation, i.e. from 1998 to 2002.[v]

7. The uncertainty and instability that is inherent in major changes in economic policies in most developing countries could lead to increased speculation, capital flights, drop in foreign remittances, increased risk aversion, adoption of “wait-and-see” attitude by investors and increased sharp practices.

8. Likely short-term increase in the rate of armed robbery because robbers will flood banking halls and trail those who have exchanged large sums of old money for new ones. There is also a likely increase in other fraudulent activities and financial “scams” (popularly know as “419” in Nigeria). For instance, since the announcement of the redenomination of the Ghanaian currency I January 2007 and the introduction into circulation of the new notes and coins in July 2007, several cases fake new Ghanaian cedis have been reported under spectacular headlines in their newspapers such as “Three Arrested for Printing New Currency”, “Fake Ghana New Currency Notes in Circulation” and “Two Nigerians Arrested with Fake New Cedi Notes by Customs at Aflao Border”. You can trust that Nigerian fraudsters are already at work perfecting their strategies to take advantage of the proposed redenomination of the naira.

Source by: A Qualitative Cost Benefit Assessment Of The Redenomination Of The Naira By Dr. Emmanuel Ojameruaye

catatan Rheinald Kasali

Artikel yang sayang untuk gak di forward. Semoga dpt memberi inspirasi.**********LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolahtempat anak saya belajar di Amerika Serikat.Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telahdiberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahaldia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang diatulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan sayamencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk,logikanya sangat sederhana.Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah. Rupanya karanganitulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk,malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikanmemerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, sayakhawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerimasaya hanya bertanya singkat. "Maaf Bapak dari mana?" "Dari Indonesia," jawabsaya. Dia pun tersenyum.Budaya MenghukumPertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulahsaat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat."Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetapsimpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yanganak-anaknya dididik di sini,"lanjutnya. "Di negeri Anda, guru sangat sulitmemberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkanuntuk merangsang orang agar maju. Encouragement! " Dia pun melanjutkanargumentasinya."Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anaksebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris,saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat," ujarnya menunjuk karanganberbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapatpelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurutukuran kita.Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimangnilai "A", dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harusmenyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para pengujiyang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinyadengan mudah.Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap.Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya danpenguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalanbegitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buatdan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuhpuja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuhketerbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering sayasaksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut "menelan"mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan,penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedapseakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalamifrustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf,menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukanencouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusanrendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yangtertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru diAmerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampumenjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel.Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkankarakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. "Janganlahkita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh didepan," ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan raporanak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornyatidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untukbekerja lebih keras, seperti berikut. "Sarah telah memulainya dengan berat, diamencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yangberarti." Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecupkeningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberipenilaian yang tidak objektif.Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna),tetapi saya mengatakan "gurunya salah". Kini saya melihatnya dengan kacamatayang berbeda.Melahirkan KehebatanBisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan danrasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejutaancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, danpenghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, danseterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...;Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di ataskertas ujian dan rapor di sekolah.Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebihdisiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif danmengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkanotak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atausebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari ancaman ataudukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengandemikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yangsering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar ataubodoh.Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancamanatau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina ataumemberi ancaman yang menakut-nakuti. (*)RHENALD KASALIKetua Program MM UI__._,_.___

catatan mengenai pendidikan: suatu refleksi dan evaluasi

Penghargaan terhadap budaya, peradaban, ilmu pengetahuan, telah membuktikan sebuah bangsa menjadi besar dan terhormat. Kehidupan yang mencerminkan kemajuan pemikiran akan menciptakan keteraturan. Keteraturan pula yang membuat kehidupan menjadi damai, penuh makna dan berkualitas. di hari-hari kegiatan manusia. Beginilah kalau kemakmuran dan kesadaran akan hidup kualitas. Puncak ilmu pengetahuan ternyata manusia ingin damai menikmati hidup.

Saya merasakan, kualitas kehidupan, kemauan belajar yang keras, membuat manusia berubah. Peradaban akan berubah karenanya. Setidaknya, beberapa negara telah membuktikan hal ini.. Terbukti dinegara2 yang mana sistem pendidkan dan institusi pendidkan telah memiliki kualitas sangat baik, terutama dalam hal: (1). pengelolaan perpustakaan, (2) pengelolaan proses belajar mengajar, (3) disiplin tenaga pengajar, dan (4) budaya akademik, khususnya di bidang pengembangan research and community development.
Bahwa mutu pendidikan diketahui ada 4 (empat) variable yang harus mendapat perhatian serius. Yaitu, Masukan (Input), Proses, Output, Tindak lanjut.

Masukan (Input), mencakup komponen : (1) Visi dan misi program studi, (2) Tujuan dan sasaran, (3) siswa/mahasiswa, (4)tenaga pengajar/guru/ Dosen dan tenaga pendukung, (5) kurikulum, dan (6) sarana-prasarana.
Proses, mencakup komponen: (1) tata pamong (governance), (2) pengelolaan program, (3) proses pembelajaran, (4) suasana akademik, (5) penelitian dan laporan tugas akhir/skripsi/tesis/disertasi, (6) pengabdian kepada masyarakat.

Keluaran (output), mencakup komponen: (1) lulusan dan kinerjanya, (2) keluaran lainnya; publikasi hasil penelitian dan atau produk penelitian dalam bentuk patent, rancang bangun, protip, perangkat lunak, dsbnya serta pemanfaatannya, (3) system informasi.

Tindak Lanjut, mencakup komponen: (1) system peningkatan, kendali dan jaminan mutu, (2) mutu program studi.

Dikaitkan dengan permasalahan yang tengah dihadapi pendidikan di Indonesia saat ini dan adanya tuntutan peningkatan mutu, maka yang sangat mendesak/perlu dilakukan adalah merumusan dan menetapkan standar mutu pada masing-masing variable dan komponen-komponen berikut ini:

(a). Standar mutu siswa dan kemahasiswaan;
-institusi harus memiliki sistem rekrutmen dan seleksi calon siswa dan mahasiswa
-institusi pendidikan hrs memiliki profil terdidik dan akademik, sosio ekonomi, pribadi (termasuk kemandirian, kreativitas) yang didukung oleh data dan evidensi yang lengkap dan valid.
-Institusi Pendidikan memilki catatan mengenai keterlibatan siswa/mahasiswa dalam berbagai kegiatan social dan akademik yang relevan.
-Institusi Pendidikan mengorganisasikan kegiatan ekstra kurikuler mahasiswa/siswa.
-institusi Pendidikan menjamin keberlangsungan penerimaan mahasiswa (minat calon siswa/mhs dan kebutuhan akan lulusan program).
-Institusi Pendidikan mengorganisasikan layanan bagi mahasiswa/siswa dalam bentuk; bantuan tutorial akademik, informasi dan bimbingan karir, dan konseling pribadi dan sosial.
(b). Standar guru/dosen dan tenaga kependidikan lainnya
-Institusi Pendidikan memiliki sistem rekrutmen dan seleksi dosen/guru dan tenaga kependidikan lainnya.
-Institusi Pendidikan memiliki sistem pengelolaan guru/dosen dan tenaga kependidikan lainnya.
-institusi Pendidikan memiliki profil tenaga pengajar dan tenaga kependidikan lainnya yang didukung oleh data dan evidensi yang lengkap dan valid, termasuk mutu, kualifikasi, pengalaman, ketersediaan (kecukupan, kesesuaian, dan rasio tenaga pengajar-mahasiswa/siswa).
-institusi Pendidikan memiliki catatan lengkap dan bukti-bukti hasil karya akademik tenaga pengajar (hasil penelitian dan karya lainnya).
-Institusi Pendidikan memiliki peraturan kerja dan kode etik yang komprehensif.
-Institusi Pendidikan memiliki rancangan pengembangan staf yang telah dilaksanakan.
-Institusi Pendidikan menjamin keberlanjutan pengadaan dan pemanfaatan tenaga pengajar dan tenaga kependidikan lainnya sesuai dengan kebutuhan.
(c). Standar kurikulum dan pengembangannya:
-Institusi Pendidikan memiliki kurikulum yang sesuai dengan visi, misi, tujuan, dan sasaran pendidikan.
-Kurikulum program-program dalam institusi pendidikan: (1) relevan dengan tuntutan masyarakat dalam hal keluasan, kedalaman, koherensi, penataan/organisasinya. (2) memiliki rumusan kompetensi dan etika lulusan yang diharapkan. (3) memenuhi derajat integrasi materi pembelajaran (intra dan antar disiplin ilmu), (4). memiliki muatan lokal yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat terdekat dan kepentingan internal institusi pendidikan , (5) memiliki mata pelajaran/ kuliah pilihan yang merujuk pada harapan/kebutuhan siswa dan mahasiswa secara individual/kelompok mahasiswa tertentu, (6) menjamin peluang bagi peserta didik untuk mengembangkan diri berupa kesempatan untuk melanjutkan studi, mengembangkan pribadi memperoleh pengetahuan dan pemahaman materi khusus sesuai dengan bidang studinya, mengembangkan keterampilan yang dapat dialihkan (transferable skills), berorientasi ke arah karir, dan perolehan pekerjaan.
(d). Standar sarana prasarana:
-Pendidikan memiliki sarana dan prasarana yang cukup dan relevan untuk digunakan sebagai pendukung penyelenggaraan program-programnya.
-Institusi Pendidikan menyediakan gedung, ruang kuliah, laboratorium, ruang perpustakaan, dll untuk mendukung penyelenggaraan program pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
-Institusi Pendidikan menyediakan fasilitas computer untuk mendukung pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
(e).Standar Penelitian, Publikasi, Skripsi/Tesis/Disertasi Karya Innovatif, pengabdian kepada masyarakat, dan hasil lainnya, serta pemanfaatannya.
-Institusi Pendidikan memiliki: (1) catatan data dan informasi mengenai kualitas, produktivitas, relevansi sasaran, efisiensi pemanfaatan dana penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, (2) agenda berkelanjutan dan diseminasi hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, (3) rancangan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan bersama antara tenaga pengajar dan peserta didik, (4) catatan data dan informasi lengkap mengenai kegiatan penelitian dan publikasi dosen, (5) pedoman penulisan tugas akhir, skripsi, tesis, dan disertasi untuk menjamin mutu dan ketepatan waktu penyelesaiannya.
-Institusi Pendidikan merancang dan melaksanakan sistem kerjasama dan kemitraan dalam penelitian dengan lembaga penelitian lain di dalam dan luar negeri.
(f). Standar Sistem Informasi:
-Institusi Pendidikan merancang pengembangan sistem informasi dan melaksanakannya secara efisien dan efektif.
-Institusi Pendidikan memilki sumber daya manusia, sarana dan prasarana pendukung dengan jumlah dan mutu yang sesuai dengan yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan sistem informasi.
-Institusi Pendidikan memanfaatkan sistem informasi secara efisien dan efektif.