ANALISIS PERDAGANGAN INTERNASIONAL KOMODITAS NENAS DENGAN PENDEKATAN SCM (SUPPLY CHAIN MANAGEMENT)
Faurani Santi Singagerda
I. PENDAHULUAN
Dalam konteks perekonomian suatu negara, salah satu wacana yang menonjol adalah mengenai pertumbuhan ekonomi. Meskipun ada juga wacana lain mengenai pengangguran, inflasi atau kenaikan harga barang-barang secara bersamaan, kemiskinan, pemerataan pendapatan dan lain sebagainya. Namun pertumbuhan ekonomi menjadi penting dalam konteks perekonomian suatu negara karena dapat menjadi salah satu ukuran dari pertumbuhan atau pencapaian perekonomian bangsa tersebut, meskipun tidak bisa dinafikan ukuran-ukuran yang lain. Wijono (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan pembangunan. Salah satu hal yang dapat dijadikan motor penggerak bagi pertumbuhan adalah perdagangan internasional. Salvatore menyatakan bahwa perdagangan dapat menjadi mesin bagi pertumbuhan ( trade as engine of growth, Salvatore, 2004). Jika aktifitas perdagangan internasional adalah ekspor dan impor, maka salah satu dari komponen tersebut atau kedua-duanya dapat menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan. Tambunan (2005) menyatakan pada awal tahun 1980-an Indonesia menetapkan kebijakan yang berupa export promotion. Dengan demikian, kebijakan tersebut menjadikan ekspor sebagai motor penggerak bagi pertumbuhan.
Ketika perdagangan internasional menjadi pokok bahasan, tentunya perpindahan modal antar negara menjadi bagian yang penting juga untuk dipelajari. Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Vernon, perpindahan modal khususnya untuk investasi langsung, diawali dengan adanya perdagangan internasional. Ketika terjadi perdagangan internasional yang berupa ekspor dan impor, akan memunculkan kemungkinan untuk memindahkan tempat produksi. Peningkatan ukuran pasar yang semakin besar yang ditandai dengan peningkatan impor suatu jenis barang pada suatu negara, akan memunculkan kemungkinan untuk memproduksi barang tersebut di negara importir. Kemungkinan itu didasarkan dengan melihat perbandingan antara biaya produksi di negara eksportir ditambah dengan biaya transportasi dengan biaya yang muncul jika barang tersebut diproduksi di negara importir. Jika biaya produksi di negara eksportir ditambah biaya transportasi lebih besar dari biaya produksi di negara importir, maka investor akan memindahkan lokasi produksinya di negara importir.
Akan tetapi, dalam kenyataannya beberapa kendala dalam menghadapi liberalisasi perdagangan yang memiliki konsekwensi peningkatan daya saing baik terhadap produk-produk yang akan diekspor maupun produk dalam negeri yang harus bersaing dengan produk luar yang masuk ke Indonesia. Beberapa kendala seperti kurangnya perencanaan dalam pengembangan produk, tidak adanya keseimbangan jumlah pasokan dan permintaan, informasi (baik pasar maupun produk) yang tidak memadai; kerap kali muncul dan menjadi suatu permasalahan yang klasik dalam meningktkan kinerja ekspor di Indonesia. Dengan adanya kondisi harga komoditas yang tidak menentu, dan iklim usaha yang belum memperhitungkan aspek kendala dalam hal transportasi, distribusi, dan penerapan teknologi yang kesemuanya belum mengarah pada orienasi pasar sehingga mempengaruhi keberlanjutan usaha dalam jangka panjang. Selain itu juga dengan adanya permasalahan dalam aspek manajemen dan kelembagaan yang berfungsi sebagai faktor pendukung dalam proses produksi pun masih banyak mengalami permasalahan, sehingga dengan kondisi tersebut, pihak-pihak yang terlibat (baik eksportir maupun importer) kerap kali mengalami kendala seperti masalah perizinan, promosi, pendanaan, maupun akses pasar. Belum lagi kondisi perdagangan yang hampir dari sebagian besar belum melakukan diversifikasi usaha akibat belum jelinya melihat bagaimana potensi pasar yang masih sangat terbuka berikut resiko yang akan dihadapi oleh mereka.
Dengan semakin terbuka lebarnya pintu globalisasi sebagai suatu pintu gerbang adanya liberalisasi perdagangan baik di tingkat lokal, regional, nasional, hingga internasional, dan seiring dimulainya AFTA, ACFTA, AFLA, NAFTA, APEC hingga akhirnya WTO sehingga seluruh dunia nantinya akan menjadi satu pasar membuat tingkat persaingan semakin tinggi di bidang industri jasa maupun manufaktur. Pasar bebas adalah ancaman berbahaya yang harus diantisipasi dengan baik namun sekaligus juga sebagai peluang besar untuk pengembangan usaha. Dimulainya pasar global dengan didukung kemajuan teknologi informasi akan mempercepat terjadinya perubahan pasar. Akibatnya daur hidup (Life Cycle) sebuah produk semakin pendek. Hal ini menuntut kesiapan suatu perusahaan untuk selalu mengembangkan inovasi produk dan ketepatan dan kecepatan dalam peluncuran produk ke pasar sehingga bisa memimpin dan mendominasi pasar. Dukungan sumber daya manusia yang berkualitas, adaptif, kreatif dan produktif menjadi sangat penting untuk mengantisipasi perubahan pasar di era global.
Selain itu juga dengan kondisi lemahnya sistem jaringan koleksi dan distribusi nasional yang kurang mendukung peningkatan daya saing ekspor, juga merupakan suatu gambaran dari mekanisme perdagangan internasional yang turut menyumbang menurunnya kinerja ekspor Indonesia akhir-akhir ini. Kondisi dimana jaringan koleksi dan distribusi barang dan jasa perdagangan dalam negeri banyak mengalami hambatan karena belum terintegrasinya sistem perdagangan di tiga tingkatan pasar (pengumpul, eceran, dan grosir) serta maraknya berbagai pungutan dan peraturan di tingkat daerah akibat penyelenggaraan otonomi. Masalah ini menyebabkan berkurangnya daya saing produk dalam negeri untuk dimanfaatkan sebagai bahan antara (intermediate goods) karena kalah bersaing dengan produk impor sejenis dan berkurangnya daya saing produk yang langsung di ekspor. Masalah ini juga menyebabkan berkurangnya atau bahkan terbatasnya pilihan pemasaran para produsen ke dalam jaringan pasar dalam negeri yang dampaknya lebih jauh adalah kelesuan untuk peningkatan volume produksinya. Perbaikan dalam sistem jaringan koleksi dan distribusi nasional, selain bermanfaat untuk peningkatan daya saing produk ekspor, juga akan meningkatkan ketahanan ekonomi karena mendorong integrasi komponen-komponen produksi dalam negeri yang terkait. Lebih jauh lagi, perbaikan sistem akan memiliki kehandalan di dalam mendorong perwujudan stabilitas harga serta bermanfaat untuk pengamatan dini (early warning system), misalnya terhadap kemungkinan serbuan produk-produk impor tertentu, gangguan terhadap pasokan dan distribusi barang.
Produk hortikultura merupakan kelompok produk pertanian yang diperdagangkan dan secara langsung merasakan dampak dari liberalisasi perdagangan, dimana produk hortikultura ini secara historis memiliki nilai strategis pada sub-sektor perdagangan bagi produsen, pelaku pasar dan konsumen di Indonesia. Bagi petani sebagai produsen, produk hortikultura memiliki nilai ekonomi yang relatif lebih tinggi dibanding tanaman pangan, untuk setiap unit luasan produksi. Bagi pelaku pasar, produk hortikultura memiliki kapasitas permintaan yang tinggi, dengan peluang variasi jenis produk yang beragam mulai dari produk segar maupun beragam produk olahan. Sementara itu bagi konsumen, kebutuhan akan produk hortikultura semakin meningkat sejalan dengan peningkatan pengatahuan konsumen akan gizi dan kesadaran hidup sehat.
Pasar produk hortikultura relatif lebih terbuka, dengan segmentasi pasar yang luas. Ditinjau dari segi permintaan, prospek permintaan domestik akan produk hortikultura cenderung meningkat, sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan masyarakat serta berkembangnya pusat kota, industri dan pariwisata. Sementara itu dari segi kualitas permintaan, segmentasi produk hortikultura menjadi semakin beragam sejalan dengan preferensi konsumen yang semakin memahami pengatahuan akan gizi, serta berkembangnya sentra pasar dan perkembangan industri pengolahan produk berbasis hortikultura.
Perubahan lingkungan strategis dalam perekonomiaan secara umum, khususnya sektor pertanian turut mempengaruhi dinamika pasar produk hortikultura. Hal tersebut bisa dilihat dari implikasi liberalisasi perdagangan dan integrasi pasar, yang mendorong pertumbuhan pasar modern menjadi semakin pesat, selain pasar tradisional. Tingkat penetrasi pasar telah sampai ke pelosok pedesaan dan arus lalu lintas produk hortikultura baik antar wilayah dalam negeri maupun ekspor impor menjadi semakin terbuka.
Situasi tersebut mendorong peningkatan perdagangan produk hortikultura, serta meningkatkan kompleksitas peran pelaku pasar dalam rantai pasokan produk hortikultura. Pertumbuhan pasar produk hortikultura tersebut memberikan peluang bagi petani hortikultura untuk meningkatkan akses mereka terhadap pasar. Namun disisi yang lain, situasi pasar yang terbuka membuat tingkat persaingan antar pelaku pasar menjadi semakin tinggi, dimana petani sebagai produsen dalam posisi yang lemah dibanding pelaku pasar yang lain.
Nanas yang merupakan salah satu produk unggulan komoditas hortikultra yang memilki nilai ekonomis dan permintaan pasar yang tinggi, dimana berdasarkan data Ditjen Hortikultura Departemen Pertanian, 2008 menjelaskan bahwa kontribusi subsector hortikultura pada Produk Domestik Bruto (berdasarkan harga yang berlaku sebesar Rp. 74.768 Triliun pada tahun 2007, dan diproyeksikan mencapai Rp. 78.2929 triliun. Walaupun produk hortikultura umumnya mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, namun produk hortikultura mempunyai karakteristik yang mudah rusak (perishable) sehingga hal tersebut sangat berdampak terhadap harga dan pendapatan petani. Artinya dalam pengembangan hortikultura perlu mempertimbangkan banyak faktor, seperti permintaan (kebutuhan) pasar, jalur distribusi, rantai pasar, mutu produk dan faktor-faktor lainnya yang terkait mulai dari produk tersebut dihasilkan sampai ke tangan konsumen. Di sisi lain tuntutan masyarakat terhadap produk hortikultura bermutu semakin tinggi. Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di dalam negeri, yang dicirikan dengan berkembangnya pasar-pasar swalayan/hypermart di kota-kota besar memberikan peluang dan tantangan tersendiri karena pasar-pasar tersebut melayani pangsa pasar masyarakat menengah-atas, yang menuntut kualitas produk pada tingkat tertentu yang lebih baik. Perkembangan pasar-pasar swalayan yang pesat tersebut perlu disikapi pula dengan penyediaan produk hortikultura yang bermutu termasuk juga dengan komoditas nenas.
Dari Tabel Lampiran 1, diantara komoditas buah-buahan, komoditas nenas memiliki nilai dan volume yang cenderung tertinggi pada periode 2003 – 2009. Indonesia merupakan produsen nenas terbesar kelima setelah Brazil, Thailand, Filipina dan Cina. Namun peran ekspor nanas Indonesia adalah no ke-19. Rendahnya ekspor tersebut berkaitan dengan muta produk yang belum memenuhi standar pasar dunia.
Kurang kompetitifmya komoditas nenas di pasar internasional diduga disebabkan oleh sistem produksi di lokasi yang terpencar, skala usaha sempit dan belum efisien, serta jumlah produksi terbatas. Selain itu dukungan kebijakan perbankan, perdagangan, ekspor dan impor belum berpihak kepada pelaku agribisnis hortikultura dalam negeri.
Secara umum, agribisnis hortikultura memiliki empat kekhasan tersendiri seperti: (1) petani memproduksi berdasarkan orientasi pasar, (2) wilayah produksi terkonsentrasi pada kabupaten-kabupaten atau kecamatan-kecamatan tertentu, (3) fluktuasi harga produksi yang tinggi disebabkan ketidaksinkronan supply antar wilayah produksi, (4) struktur agribisnis yang tersekat-sekat, yang tampak dari hubungan kelembagaan yang lemah antar komponen agribisnisnya. Sehingga dalam hal ini, pembangunan agribisnis hortikultura perlu memperhatikan keseluruhan aspek dan segmen agribisnis dari hulu sampai ke hilir dan perangkat penunjangnya menuju keseimbangan antara usaha promosi peningkatan produksi, perbaikan distribusi dan promosi peningkatan konsumsi, serta menguntungkan semua pihak. Berkaitan dengan hal tersebut, program pembangunan agribisnis hortikultura perlu disusun dengan memperhatikan keberadaan dan berfungsinya berbagai perangkat keras dan lunak, yang ada di daerah setempat diantaranya kebijakan, prasarana dan sarana, kelembagaan, teknologi, sistem informasi dan permodalan. Selanjutnya untuk memetakan kondisi dan permasalahan yang ada, membuat analisis kebutuhan perbaikan, menetapkan target-target perbaikan dan menyusun rencana aksinya dapat digunakan dengan pendekatan SC. Sebab, dengan pendekatan SCM dapat memperbaiki dalam pengembangan produk hortikultura baik mutu, jumalh maupun rutinitasnya yang pada gilirannya dapat menjawab tantangan di bidang hortikultura, khususnya dalam menghadapi era globalisasi.
1.1. Permasalahan
Potensi hortikultura Indonesia khususnya komoditas nenas masih belum secara optimal diupayakan karena tingkat persaingan yang tinggi dengan produk hortikultura lain, masih rendahnya kualitas dan kuantitas pasokan nenas lokal serta informasi harga dan pasar masih belum secara transparan sampai ke tingkat petani. Secara umum beberapa ciri yang melekat pada pengembangan nenas adalah pengembangan yang kurang terencana, petani mengusahakan suatu tanaman lebih pada informasi harga pada musim-musim sebelumnya, sementara keseimbangan jumlah pasokan dan permintaan belum dapat diantisipasi dengan baik. Akibat lebih lanjut adalah (i) fluktuasi harga antar waktu sangat tinggi (ii) penerapan teknologi lebih didasarkan pada apa yang diinginkan petani, belum melihat apa yang dibutuhkan tanaman, apalagi yang terkait dengan kualitas produk yang diminta pasar (iii) dari aspek kelembagaan, belum dapat diidentifikasi dengan baik faktor pengikat yang dapat mempersatukan petani pada satu wadah yang solid (iv) diversifikasi usaha belum memperhitungkan pembagian resiko, namun lebih pada upaya menjaga stabilitas pendapatan (v) petani selalu berada pada posisi yang kurang diuntungkan dalam hal informasi, terutama informasi harga (vi) belum semua pelaku pasar menikmati keuntungan sesuai dengan pengorbanan yang diberikannya (vii) belum ada insentif di tingkat petani untuk mengembangkan produk sesuai dengan segmentasi pasar.
Berdasarkan gambaran di atas, terlihat bahwa untuk meningkatkan daya saing dan menangani masalah perdagangan nenas dan produk hortikultura secara umum tidak dapat dilakukan secara parsial, dengan hanya melihat pasar dengan para pelakunya, keterkaitan dengan aspek lain seperti budidaya (teknologi produksi) serta kelembagaan pendukung sangat menentukan keberhasilan dalam memecahkan masalah pemasaran.
Untuk itu maka pemahaman mendalam mengenai rantai pasokan, mulai dari pasokan sarana produksi, produksi, pasca panen, pemasaran hingga distribusi ke konsumen menjadi sangat penting, sebagai pertimbangan untuk mengembangkan dukungan bagi petani untuk memperkuat akses pasar mereka.
1.2. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menganalisis rantai pasok komoditas nenas hortikultura dalam meningkatkan akses pasar dan daya saing, meliputi:
a. Memetakan potensi produksi nenas
b. Menganalisis peran pelaku dalam rantai pasok nenas
c. Menganalisis struktur dan sistem informasi rantai pasok nenas
d. Menganalisis sistem distribusi dan nilai tambah rantai pasok nenas
e. Menganalisis ekonomi rantai pasok nenas
II. TINJAUAN TEORITIS DAN PUSTAKA
Nanas merupakan salah satu produk unggulan komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi dengan karakteristik yang mudah rusak, meskipun demikian sebagai produk yang mudah rusak nanas memiliki potensi pasar yang cukup tinggi, seperti diketahui pada lampiran dari tahun ke tahun perdagangan (ekspor) nenas terus mengalami peningkatan. Disamping itu masalah mutu dan kualitas dari produk itu sendiri sangat mendukung bagi perkembangan permintaan produk nanas oleh luar negeri, sejalan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, tuntutan akan kualitas produk nenas yang bermutu dengan tingkat kesegaran, warna bahkan kemasan dari produk tersebut ikut andil dalam proses pembentukan harga nanas itu sendiri.
Berkaitan dengan transaksi perdagangan luar negeri (ekspor) nanas, masalah tarif juga merupakan masalah yang kerap muncul. Akan tetapi dengan masuknya era liberalisasi perdagangan akhir-akhir ini, maka masalah tarif justru sangat erat kaitannya dengan masuknya komoditas sejenis dari luar negeri ke Indonesia yang konsekwensi nya adalah menyangkut daya saing produk nenas asing terhadap produk nenas lokal.
Di tingkat perdagangan internasional dimana hambatan tariff telah dihilangkan/dikurangi melalui kesepakatan WTO, lalulintas produk komoditas pertanian suatu negara dapat masuk ke berbagai negara di dunia sejauh memenuhi ketentuan persyaratan teknis di negara tujuan. Transaksi perdagangan komoditas hortikultura dunia yang tinggi merupakan peluang yang sampai saat ini masih belum dimanfaatkan oleh pebisnis hortikultura nasional. Kendala mutu terutama dalam menghasilkan produk bermutu yang memenuhi standar sertifikasi mutu nasional/regional/internasional dan ketersediaan data yang terkait dengan persyaratan SPS dan persyaratan karantina lainnya merupakan hambatan utama dalam meraih pangsa pasar hortikultura global. Demikian pula sistem rantai pasokan komoditas yang belum tertata dengan baik telah melemahkan daya saing produk hortikultura Indonesia di pasar dalam negeri dan juga di pasar internasional, termasuk di antaranya kelembagaan usaha di tingkat petani yang belum solid, kemitraan yang belum transparan dan rantai pasokan yang panjang dan tidak efisien.
Dalam rangka meningkatkan daya saing produk hortikultura, maka pemerintah dalam hal ini Direktorat Jendral Hortikultura Departemen Pertanian mengeluarkan 6 pilar pengembangan hortikutura sebagai suatu kebijakan, adapun 6 pilar tersebut adalah:
1. Pengembangan kawasan hortikultura dibeberapa wilayah yang disatukan dengan fasilitas infrastruktur ekonomi
2. Penerapan Supply Chain Management (SCM)
3. Penerapan GAP/SOP dengan spesifik komoditas, dan sasaran market umtuk meningkatkan produktivitas, kualitas produk dan daya saing produk.
4. Fasilitas terpadu Investasi Hortikultura (FATIH) untuk menciptakan inovasi yang mampu memperbaiki kinerja system segmen rantai pasok
5. Pengembangan Kelembagaan usaha yang mampu memperkuat kohesi horizontal dari para pelaku-pelaku usaha dari suatu segmen rantai pasok dan integrasi vertical dari pelaku usaha dari segmen yang berbeda dalam rantai pasokan.
6. Peningkatan Konsumsi dan Akselerasi Ekspor, sebagai upaya untuk meningktkan produksi dan mutu hortikultura yang diharapkan mampu mendorong upaya peningkatan konsumsi.
Upaya peningkatan daya saing produk hortikultura melalui kebijakan 6 pilar pengembangan hortikultura tersebut dilakukan berdasarkan fakta dan kondisi perdagangan ekspor impor di Indonesia yang mana berdasarkan data Kadin (2006) hampir sebagian besar ekspor produk Indonesia ke pasar internasional masih banyak bersifat produk tradisional dalam bentuk bahan baku (raw material). Pelaku usaha agribisnis khususnya produk hortikultura Indonesia dalam pasar internasional pasti akan menghadapi pembeli besar berupa importir atau industri pengolahan lanjutan. Posisi semacam ini cenderung menempatkan Indonesia pada posisi yang lemah karena besarnya volume pembelian yang dilakukan oleh pasar industri dan sedikitnya jumlah pembeli. Kelemahan ini semakin menumpuk karena adanya kecenderungan atas homogenitas produk yang kita hasilkan dengan produk yang dihasilkan oleh negara lain.
Posisi Indonesia dalam kesepakatan perdagangan bebas dunia relatif kurang menguntungkan. Seiring dengan semakin liberalnya perdagangan dunia, Indonesia harus meningkatkan kemampuan bersaingnya di pasar global. Pasar global dapat bermakna pasar internasional di negara lain dan pasar dalam negeri yang sudah semakin dipenuhi dengan produk impor. Melihat kondisi perekonomian Indonesia dikhawatirkan dampak globalisasi akan memberi dampak negatif bagi Indonesia, terutama kalau Indonesia tidak mampu menjadi pemasok bagi kebutuhan produk vital, seperti pangan. Publikasi The Global Competitiveness Report yang diterbitkan oleh World Economic Forum pada tahun 2008 menunjukkan bagaimana daya saing Indonesia dalam persaingan global. Pada tahun 2008, peringkat daya saing Indonesia berdasarkan Growth Competitiveness Index berada di urutan ke–55 dari 134 negara, data selengkapnya terdapat pada tabel pada berikut. Prestasi Indonesia di 2008 tersebut relatif tidak mengalami kemajuan dibandingkan prestasi tahun 2007 yang berada di urutan 54 dari 131 negara.
Peningkatan daya saing perlu mendapat perhatian karena punya potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia. Ketersediaan pasokan bahan baku, tenaga kerja, dan teknologi yang relatif melimpah semestinya mampu dikembangkan lebih jauh. Menurut penelitian yang dilakukan Asia Development Bank (ADB) Institute (2003), daya saing berart kemampuan perusahaan untuk bersaing. Perusahaan memiliki strategi tersendiri untuk menurunkan biaya, meningkatkan kualitas produk, dan mendapatkan jaringan pemasaran.
Tabel 1: Index Daya Saing (berdasarkan urutan Negara produsen) Tahun 2008
Sumber: Departemen Perdagangan, 2010
Harga sebagai salah satu pembentuk nilai suatu produk merupakan komponen yang menentukan banyaknya permintaan akan suatu produk/barang, dimana dikatakan bahwa harga berkaitan dengan menjelaskan kegiatan ekonomi dalam hal penciptaan dan transfer nilai, yang mencakup perdagangan barang dan jasa antara agen ekonomi yang berbeda. Harga kadang dapat alternatif mengacu pada jumlah pembayaran yang diminta oleh penjual barang atau jasa, bukan jumlah pembayaran akhirnya. Jumlah ini yang diminta sering disebut harga permintaan atau harga jual, sedangkan pembayaran yang sebenarnya dapat disebut harga transaksi atau diperdagangkan harga. Demikian pula, harga penawaran atau harga beli adalah jumlah pembayaran yang ditawarkan oleh seorang pembeli barang atau jasa, walaupun makna ini lebih sering terjadi pada aset atau pasar keuangan daripada di pasar konsumen. Sedangkan teori harga itu sendiri menegaskan bahwa harga pasar mencerminkan interaksi antara dua sisi (permintaan dan penawaran) yang berlawanan. Di satu sisi adalah permintaan yang didasarkan pada utilitas marjinal, sementara di sisi lain dilihat berdasarkan pada biaya marjinal. Hampir sama dengan komoditas lainnya, untuk komoditas nenas itu sendiriri, proses terjadinya harga terjadi akibat adanya jumlah permintaan di pasar, sehingga dalam proses pembentukan harga ini sendiri harus dikaitkan dengan banyaknya supply dan kualitas dari barang itu sendiri. Hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya pendapatan masyarakat dunia, yang menginginkan produk yang dibutuhkan memiliki nilai estetika dan tingkat gizi yang tinggi. Begitupula dengan faktor perubahan permintaan yang menjadi suatu unsur terbentuknya harga pasar juga merupakan suatu unsur bagi terbentuknya suatu harga. Kita telah mengetahui bahwa bertambahnya permintaan mempunyai tendensi mengakibatkan meningkatnya harga pasar. Meningatkanya harga pasar, yang dari sudut pandangan produsen merupakan kenaikan harga jual mereka, bertendensi menimbulkan keinginan para produsen untuk menjual lebih banyak daripada sebelumnya. Akan tetap keinginan untuk meningkatkan volume penjualan mereka tersebut tidaklah mereka laksanakan seketika. Pertama-tama mereka akan mempertimbangkan apakah harga jual yang lebih tinggi daripada sebelumnya tersebut akan berlangsung lama ataukah tidak. Untuk memperoleh keyakinan tersebut pada umumnya memerlukan waktu. Kedua ialah bahwa untuk dapat menjual jumlah lebih banyak dibandingkan sebelumnya produsen harus memprodusir jumlah yang lebih banyak.
Oleh karena itu, nenas sebagai produk yang diperjualbelikan dalam suatu pasar pada akhirnya akan membentuk suatu harga berdasarkan banyaknya jumlah permintaan dan supply yang tersedia, sehingga pada akhirnya produk itu sendiri akan menggeser jumlah atau kuantitas barang sesuai dnegan harga yang berlaku.
Berkaitan dengan era perdagangan liberal akhir-akhir ini, produk nanas juga merupakan komoditi yang diperjualbelikan antar wilayah maupun antar negara. Dimana sebagai komoditi yang diperjualbelikan antar negara, melibatkan banyak pihak yang terkait (dalam hal ini pihak-pihak antarnegara baik eksportir, importir, bank, maupun pemerintah).
Diketahui sebelumnya , bahwa perdagangan Internasional dapat diartikan sebagai transaksi dagang antara subyek ekonomi negara yang satu dengan subyek ekonomi negara yang lain, baik mengenai barang ataupun jasa-jasa. Adapun subyek ekonomi yang dimaksud adalah penduduk yang terdiri dari warga negara biasa, perusahaan ekspor, perusahaan impor, perusahaan industri, perusahaan negara ataupun departemen pemerintah yang dapat dilihat dari neraca perdagangan.
Berdasarkan teori J.S.Mill menyatakan bahwa suatu negara akan menghasilkan dan kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki comparative advantage terbesar dan mengimpor barang yang dimiliki comparative disadvantage (suatu barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau dihasilkan sendiri memakan ongkos yang besar). Selain itu juga oleh David Ricardo dikatakan bahwa lalu lintas pertukaran internasional hanya berlaku antara dua negara yang diantara mereka tidak ada tembok pabean, serta kedua negara tersebut hanya beredar uang emas. Ricardo memanfaatkan hukum pemasaran bersama-sama dengan teori kuantitas uang untuk mengembangkan teori perdagangan internasional. Walaupun suatu negara memiliki keunggulan absolut, akan tetapi apabila dilakukan perdagangan tetap akan menguntungkan bagi kedua negara yang melakukan perdagangan. Dan inilah yang melandasi terjadinya perdagangan internasional dan mengubah dunia menjadi globalisasi. Pemikiran kaum klasik telah mendorong diadakannya perjanjian perdagangan bebas antara beberapa negara. Teori comparative advantage telah berkembang menjadi dynamic comparativeadvantage yang menyatakan bahwa keunggulan komparatif dapat diciptakan. Oleh karena itu penguasaan teknologi dan kerja keras menjadi faktor keberhasilan suatu negara. Bagi negara yang menguasai teknologi akan semakin diuntungkan dengan adanya perdagangan bebas ini, sedangkan negara yang hanya mengandalkan kepada kekayaan alam akan kalah dalam persaingan internasional.
Berkaitan dengan itu pulalah, dalam memenangkan persaingan perdagangan khususnya dengan negara-negara lain yang memproduksi barang sejenis, teknologi dan inovasi merupakan hal penting yang tidak luput dari perhatian pelaku-pelaku pasar. Perkembangan teknologi dan inovasi produk tersebut berkaitan dengan jenis barang yang dihasilkan. Untuk komoditi hortikultura sendiri (dalam hal ini nenas), pengembangan kualitas produk/komoditi merupakan bagian terpenting dalam mata rantai proses perdagangan internasional mulai dari proses produk itu sendiri seperti pengembangan bibit, struktur tanah, curah hujan dan iklim, panen, packaging, penyimpanan, distribusi, proses transaksi pembayaran lintas negara, kebijakan , sampai dengan pemasaran) tidak luput dari perhatian dan menjadi suatu prioritas bagi pengembangan produk itu sendiri maupun pengembangan transaksi perdagangan. Yang mana kesemua unsur tersebut saling terkait, terutama untuk jenis produk hortikultura yang cenderung mudah rusak (perishable). Hal ini tentu saja berkaitan dengan jarak dan waktu tempuh yang dibutuhkan oleh produsen dalam menyampaikan barangnya kepada konsumen yang dituju. Dengan demikian diharapakan semakin berkembangnya teknologi, ilmu pengetahuan, dan inovasi mampu mengatasi banyaknya kendala yang dihadapi dalam proses perdagangan internasional.
Sebagai konsekwensi dari meningkatnya perdagangan internasional di seluruh dunia dan semakin mudahnya akses pasar dunia, maka tingkat persaingan antar negara pun juga sangat ketat terutama bagi negara-negara berkembang yang pada umumnya berada pada posisi dimana neraca perdagangan mengalami defisit, selain dituntut untuk meningkatkan kinerja ekspor nya negara itu sendiri pun pada umumnya memiliki tingkat komparatif yang relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara maju. Sebagai negara yang memiliki neraca perdagangan surplus, umumnya negara-negara maju juga memiliki posisi bargaining (tawar) yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Berbagai kebijakan yang sering diambil oleh negara-negara maju dalam rangka membatasi masuknya barang-barang impor dalam rangka melindungi produk domestiknya juga kerap dilakukan. Salah satu kebijakan proteksi yang kerap dilakukan adalah berkaitan dengan masalah tarif dan non tarif. Kebijakan tarif merupakan kebijakan proteksi yang diambil oleh suatu negara berkaitan dengan pengenaan pajak atas berang tertentu yang masuk atau keluar di suatu negara. Akan tetapi dengan adnya putaran Uruguay (GATT) tahun 1994 yang menjadi landasan utama terbentuknya WTO (World Trade Organization) dimana negara-negara didunia yang diharapkan untuk memberlakukan pembebasan tarif terhadap komoditas-komoditas perdagangan internasional, justru dalam prakteknya kerap dilanggar oleh sebagian negara-negara maju dengan memanfaatkan posisi mereka dalam perdagangan kedalam bentuk kebijakan non tarif. Penggunaan mereka telah meningkat tajam setelah aturan WTO menyebabkan penurunan yang sangat signifikan dalam penggunaan tarif. Beberapa hambatan perdagangan non-tarif secara tegas diizinkan dalam situasi yang sangat terbatas, ketika mereka dianggap perlu untuk melindungi kesehatan, keselamatan, atau sanitasi, atau untuk melindungi sumber daya alam depletable. Dalam bentuk lain, mereka dikritik sebagai alat untuk menghindari aturan-aturan perdagangan bebas seperti Dunia Trade Organization (WTO), Uni Eropa (UE), atau North American Free Trade Agreement (NAFTA) yang membatasi penggunaan tarif. Sehingga dapat dikatakan bahwa baik kebijakan tarif maupun non tarif merupakan kebijakan distorsi perdagangan internasional yang jelas-jelasnya menghambat perkembangan transaksi perdagangan internasional itu sendiri.
Meskipun demikian posisi negara-negara berkembang yang pada umumnya lemah terhadap posisi tawar dari negara-negara maju, tidak mampu menghindari kondisi distorsi perdagangan yang terjadi. Dimana praktek-praktek eksternalitas di bidang non tarif dalam beberapa tahun belakang ini justru semakin meningkat dan lazim dilakukan. Salah satu praktek kebijakan non tarif yang umumnya diberlakukan adalah menyangkut standarisasi seperti standarisasi produk, kemasan, pengiriman, unsur kimia, higienitas, dan sebagainya; merupakan bentuk dari praktek-praktek kebijakan non tarif.
Produk hortikultura dalam hal ini nenas juga tidak luput dari masalah kebijakan non tarif yang berkaitan dengan masalah standarisasi produk ekspor. Sebagai salah satu komoditi yang relatif rentan akan kerusakan, komoditi nenas membutuhkan suatu strategi tertentu yang dapat mengurangi resiko terhambatnya pasokan dan penurunan kualitas barang, dan tentu saja secara tidak langsung akan berpengaruh pada tingkat harga, dan kuantitas permintaan komoditi tersebut.
Salah satu inovasi terbaru yang merupakan bagian dari strategi pengembangan produk adalah komponen yang menyangkut rantai pasok komoditas. Strategi ini tentu saja diterapkan dalam rangka meningkatkan daya saing produk/komoditi ekspor. Sebagai bagian dari kegiatan transaksi perdagangan internasional sektor hortikultura juga tidak lepas dari peranan industri agribisnis itu sendiri dimana kegiatan industri tidak lepas dari hubungan atau transaksi antara supplier-customer untuk dapat memberikan keberlangsungan aktivitas produksi. Hubungan yang sinergis diperlukan untuk meningkatkan performa dari kinerja suatu perusahaan. Peningkatan performa kinerja ini akan berimbas pada peningkatan kualitas baik dari segi produk, pelayanan, maupun akreditasi perusahaan. Peningkatan kualitas secara berkelanjutan (continous improvement) akan bermuara pada satu titik tujuan, yaitu peningkatan produktivitas dan profit. Oleh karenanya, kegiatan supply-chain menegaskan interaksi antar fungsi pemasaran, pembelian dan produksi pada suatu perusahaan (Siagian, 2005). SCM atau manajemen rantai pasokan merupakan kegiatan pengelolaan kegiatan-kegiatan dalam rangka memperoleh bahan mentah menjadi barang dalam proses dan barang jadi kemudian mengirimkan produk tersebut ke konsumen melalui sistem distribusi (Heizer&Render, 2004).
Dalam paper ini, masalah rantai pasok perdagangan internasional pada produk nenas merupakan tujuan yang akan disorot. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan permasalahan supply-chain perdagangan nenas mulai dari kebun, kontraktor angkutan, pabrik, pergudangan, packaging, dan konsumen industri yang berkaitan dengan keunggulan nilai dan produktivitas. Diketahui bahwa supply-chain sebagai teknik terbaru dalam pengelolaan material dan informasi dalam memenangkan persaingan. Dengan kata lain hubungan antara pihak yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan rantai pasok harus mempertimbangkan bagaimana hubungan yang sinergis antara pihak-pihak yang terkait dapat berjalan dengan baik.
Gambar: Struktur Supply Chain
Seiring dengan berkembangnya zaman, terjadilah perubahan lingkungan dan orientasi bisnis. Perubahan ini disebabkan oleh semakin kompleksnya kebutuhan konsumen yang kritis, berkembang pesatnya infrastruktur informasi dan transportasi, tumbuhnya kesadaran akan pentingnya aspek sosial dan lingkungan, serta globalisasi perekonomian dunia. Hal ini menghasilkan paradigma berpikir baru terhadap urgensi dari keunggulan kompetitif. Pada akhirnya, paradigma inilah yang mengantarkan bahwa pendekatan SCM berbasis jalinan kerjasama baik internal, eksternal maupun fungsional dalam suatu struktur supply-chain sangat diperlukan untuk meraih keunggulan kompetitif tersebut. Selain itu fungsi utama dari SCM sendiri, yaitu sebagai pengkonversi bahan baku menjadi produk jadi yang sampai di tangan konsumen, dan sebagai mediasi pasar. Fungsi ini nantinya akan terkait dengan strategi yang SCM yang harus dijalankan, dengan mengetahui karakteristik dari produk seperti yang diilustrasikan di tabel 1 dan 2.
Tabel 1: Karakteristik Produk Fungsional Vs Inovatif
Sumber: Zabidi, 2001
Tabel 2: Strategi SCM Menurut Jenis Produk
Sumber: Zabidi, 2001
Lean Supply-Chain menekankan pada penghematan ongkos-ongkos fisik yang terjadi dalam aktivitas rantai pasok dan strategi ini sesuai jika diterapkan dengan sistem produksi yang memiliki tipikal produk lebih bersifat kebutuhan dasar. Sedangkan Agile Supply-chain menekankan pada kecepatan respon dalam menerima kebutuhan konsumen yang bervariasi dan membutuhkan spesialisasi, strategi ini sesuai apabila diterapkan pada karakteristik produk yang memerlukan inovasi secara berkelanjutan.
Dalam implementasi strategi SCM, terdapat beberapa jebakan yang harus di-aware oleh para pemegang kegiatan rantai pasok. Dalam studi literaturnya Lee dan Billington (1992), menyebutkan bahwa jebakan-jebakan itu antara lain :
• Pengukuran kinerja yang tidak terdefinisi dengan jelas
• Pelayanan konsumen yang tidak terdefinisi dengan jelas
• Status data pengiriman yang tidak akurat
• Sistem informasi yang tidak efisien
• Terabaikannya dampak uncertainty
• Kebijakan inventori yang sederhana
• Diskriminasi terhadap konsumen internal
• Koordinasi antar aktivitas supplai
• Analisis metode pengiriman yang tidak lengkap
• Kendala komunikasi
• Perancangan produk yang tidak mempertimbangkan SC
• Operasional SC yang terpisah
• Definisi ongkos yang tidak tepat
• Ketidaklengkapan rantai pasok itu sendiri
Dari paparan diatas, akhirnya dikatakan bahwa SCM akan segera menjadi keharusan bagi setiap perusahaan yang ingin bertahan, bukan hanya bagi perusahaan yang ingin memimpin kompetisi di pasaran (Zabidi, 2001).
Pendekatan rantai pasokan (supply/value chain) adalah jejaring organisasi yang saling tergantung dan bekerjasama dalam alur produk, informasi, layanan dan nilai dari mulai produsen sampai ke konsumen akhir. Dalam konteks sektor hortikultura, rantai pasokan merupakan wujud nyata dari kegiatan ekonomi, bisnis dan investasi yang dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam agribisnis hortikultura. Pendekatan rantai pasokan pada prinsipnya ingin melihat bagaimana para pelaku pasar dalam setiap mata rantai pasokan dan utamanya petani, memperoleh manfaat sesuai dengan pengorbanan yang diberikannya.
Rantai pasokan juga melihat perubahan nilai produk dalam setiap mata rantai oleh karena investasi dari masing masing pelaku, serta kesenjangan yang terjadi dalam atribut produk pada setiap mata rantai pasokan yang berimplikasi pada ketidak seimbangan manfaat yang diperoleh diantara pelaku dalam rantai pasokan. Dalam hal tersebut maka kebijakan dan layanan pemerintah menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa rantai pasokan tersebut berlangsung secara efisien dan adil bagi semua pelaku.
Analisis akan kita lakukan berdasarkan pengelompokkan masalah di atas. Dimulai dari yang aspek pasar, salah satu persoalan pokok dari pengembangan produk hortikultura di Indonesia adalah besarnya variasi harga antar waktu, dan itu sangat erat terkait dengan persoalan pasokan dan permintaan produk. Pada umumnya petani hortikultura memutuskan jenis tanaman yang diusahakan berdasarkan situasi harga pada saat keputusan itu dibuat. Hal ini sangat kentara untuk komoditi nenas, fluktuasi harganya luar biasa besarnya dan ini sering menjebak petani.
Dengan demikian upaya sederhana dapat dilakukan dalam membantu petani adalah pemerintah bisa membantu dengan memetakan harga produk hortikultura secara series dalam beberapa kurun waktu. Data series mengenai fluktuasi harga tersebut bisa dijadikan pedoman untuk melihat kecederungan pergerakan harga produk hortikultura secara spesifik sehingga diperoleh pola fluktuasi harga untuk masing masing produk hortikultura. Informasi ini juga akan berguna untuk pengambilan keputusan dan perencanaan mengenai pilihan jenis dan luasan dari produk hortikultura yang akan dikembangkan pada waktu tertentu. Prasyarat untuk hal ini adalah akurasi data harga yang dicatat, untuk itu perlu ada suatu mekanisme yang memungkinkan tercatatnya semua pergerakan harga antar waktu. Akan lebih baik data satu lokasi dibandingkan dengan lokasi lainnya, sehingga dapat dilihat perilaku harga untuk skala yang lebih luas.
Selain hal di atas, diversifikasi usaha yang dikembangkan petani perlu lebih diarahkan pada upaya memperkecil resiko terkait dengan persoalan harga ini. Untuk itu pilihan komoditi yang diusahakan dapat dilakukan didasarkan pada perhitungan dan perilaku harga yang ada.
Aspek penting selanjutnya adalah masalah kelembagaan petani. Pada petani sayuran, dengan tingginya fluktuasi harga, sebenarnya ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk berkelompok, namun hal ini belum tergarap dengan baik. Asosiasi petani berdasarkan komoditi misalnya harusnya bergerak pada masalah ini. Persoalan pokoknya ada pada trust (kepercayaan), pengalaman selama ini sangat sulit membangun kebersamaan karena kurangnya rasa saling percaya diantara petani dan ini merupakan akumulasi pengalaman sebelumnya dengan berbagai upaya sejenis. Pemerintah dengan berbagai upaya pemberdayaannya justru memperlemah posisi petani, karena kelompok bentukan proyek hanya didasarkan kebutuhan proyek dan kurang dipersiapkan dengan baik, dan setiap proyek cenderung membuat kelompok baru, dan ini membuat kepercayaan masyarakat terhadap kegiatan kelompok menjadi rendah.
Informasi Harga, satu isu yang selalu melekat dengan produk pertanian adalah masalah informasi yang asimetris. Informasi yang asimetris adalah ketidak seimbangan dalam penguasaan informasi dalam rantai pelaku dalam pasar. Ketidakseimbangan penguasaan informasi antar pelaku usaha pertanian terjadi mulai dari kegiatan produksi sampai dengan pelaku pemasaran akhir. Dalam banyak kasus informasi harga di tingkat konsumen tidak ditransmisikan secara cepat pada semua pelaku usaha, sehingga selalu ada yang dirugikan, dan yang terbanyak dirugikan adalah petani pelaku usaha.
Informasi harga yang berlaku dalam rantai pasokan produk hortikultura bersifat asimetris, dimana penurunan harga di tingkat konsumen sangat cepat diinformasikan kepada petani, namun sebaliknya jika terjadi kenaikan harga akan sangat lambat diinformasikan. Diperlukan suatu mekanisme untuk membangun suatu sistem informasi harga yang memungkinkan semua pelaku usaha mendapatkan informasi secara proporsional.
Adanya informasi harga yang lebih transparan akan membuka peluang semua pelaku usaha mendapatkan penghargaan/margin keuntungan sesuai dengan pengorbanan yang diberikannya. Upaya memperpendek rantai tataniaga yang ada harusnya dilihat dalam kerangka bahwa yang penting adalah bukan sekedar memotong rantai namun bagaimana mendistribusikan keuntungan sesuai dengan pengorbanan pelaku.
Selama ini ada salah kaprah bahwa seakan akan pedagang perantara atau pengumpul hanya dilihat dari sisi negatifnya saja namun kurang dipahami peran mereka secara mendalam. Dalam beberapa kasus pedagang pengumpul justru memiliki resiko dan pengorbanan lebih besar terutama dalam aspek distribusi produk menuju wilayah lain. Namun dalam kasus lain para pedagang pengumpul justru punya peranan besar dalam memberikan kepastian bagi petani untuk membeli produk petani.
Dalam situasi rantai pasokan seperti yang diuraikan diatas maka peran pemerintah menjadi sangat penting untuk mendorong agar rantai pasokan berlangsung secara efisien sehingga pelaku pasar dapat secara proporsional mendapatkan keuntungan sesuai dengan pengorbanan yang diberikan.
Rantai pasokan bukan hanya alur produk dan dana semata, namun juga mencakup alur informasi, layanan dan kegiatan. Kesenjangan dalam peran pelaku, penguasaan informasi dan ketidakseimbangan layanan merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan harga dan keuntungan diantara pelaku dalam rantai pasokan. Ketika petani telah teridentifikasi sebagai pihak yang paling lemah dalam rantai pasokan maka penguatan kelembagaan petani merupakan tugas dari pemerintah.
Berdasarkan hasil temuan penelitian bahwa kebijakan pemerintah masih bertumpu pada aspek produksi, namun masih kurang dalam aspek kelembagaan dan pemasaran. Dalam aspek kelembagaan, perlu penguatan peran asosiasi dan kelompok tani agar mampu mandiri dan tidak tergantung pada proyek pemerintah. Dalam hal pasar, perlu peranan pemerintah dalam penyediaan informasi harga pasar bagi petani sehingga bisa mengurangi resiko petani dalam kejatuhan harga akibat permainan harga.
Seperti dikatakan pada halaman sebelumnya, bahwa dalam keunggulan komparatif suatu perdagangan intenasional adalah berkaitan dengan kemampuan komoditas/produk barang yang memiliki daya saing yang tinggi. Dimana daya saing merupakan kemampuan suatu komoditi untuk memasuki pasar luar negeri dan kemampuan untuk dapat bertahan dalam pasar tersebut. Pengertian dayasaing juga mengacu pada kemampuan suatu negara untuk memasarkan produk yang dihasilkan negara relatif terhadap kemampuan negara lain (Porter, 1980).
Pengertian dayasaing dapat diterjemahkan dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran. Dari sisi permintaan, kemampuan bersaing mengandung arti bahwa produk yang dijual harus sesuai dengan atribut yang dituntut konsumen atau produk yang dipersepsikan bernilai tinggi oleh konsumen. Dari sisi penawaran, kemampuan bersaing berkaitan dengan kemampuan merespon perubahan atribut-atribut produk yang dituntut oleh konsumen secara efisien.
Dikatakan oleh Saragih (1994) kemampuan bersaing suatu system agribisnis ditunjukan oleh kemampuan dalam memproduksi dan memasarkan produk yang sesuai dengan dengan kebutuhan konsumen. Dengan kata lain, system agribisnis yang berdaya saing tinggi adalah system agribisnis yang mampu merespon dinamika pasar secara efektif dan efisien. Efektif dalam pengertian bahwa respon yang diberikan oleh system agribisnis sesuai dengan dinamika kebutuhan (volume, tempat, dan waktu) dan preferensi konsumen, sedangkan efisien memiliki makna bahwa system agribisnis mampu memasarkan produk dengan harga lebih murah untuk kualitas produk yang sama.
Dalam rangka meningkatkan daya saing tersebut, maka pembangunan kaitan fungsional atau kaitan vertical antar kegiatan agribisnis merupakan bagian yang paling penting. Hal ini terjadi disebabkan adanya peningkatan volume permintaan, maka system agribisnis belum tentu dapat merespon dengan baik jika pelaku kegiatan pengadaan saran produksi tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik, yaitu menyalurkan volume sarana produksi yang dibutuhkan petani. Begitupula system agribisnis tidak akan mampu merespon perubahan kualitas produk yang diinginkan konsumen jika informasi pasar tersebut tidak disampaikan oleh pedagang kepada petani atau lembaga sarana produksi tidak mampu menyediakan jenis sarana produksi tertentu yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk dengan yang dibutuhkan konsumen. Ringkasnya, dari segi teknis, system agribisnis yang berdaya saing adalah system agribisnis yang mampu melakukan seluruh rangkaian kegiatan yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk yang dibutuhkan konsumen dengan biaya murah.
III. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
3.1. Kondisi Komoditas Nanas Indonesia
Nanas merupakan salah satu produk unggulan ekspor diantara komoditas buah-buahan, komoditas nenas memiliki nilai dan volume yang cenderung tertinggi pada periode 2003 – 2009. Indonesia merupakan produsen nenas terbesar kelima setelah Brazil, Thailand, Filipina dan Cina. Namun peran ekspor nanas Indonesia adalah no ke-19. Rendahnya ekspor tersebut berkaitan dengan muta produk yang belum memenuhi standar pasar dunia.
Kurang kompetitifnya komoditas nenas Indonesia di pasar internasional diduga disebabkan oleh sistem produksi di lokasi yang terpencar, skala usaha sempit dan belum efisien, serta jumlah produksi terbatas. Selain itu dukungan kebijakan perbankan, perdagangan, ekspor dan impor belum berpihak kepada pelaku agribisnis hortikultura dalam negeri.
Adapun Jepang dan Kuwait merupakan dua Negara pengimpor nenas Indonesia dengan total nilai perdagangan pada tahun 2007 dapat dilihat pada tabel 2. Selain itu juga, masih berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Hortikultura diketahui untuk komoditas buas-buahan, nenas mampu memberikan kontribusi sebesar 20 persen dari keseluruhan total ekspor buah-buahan tropis di Indonesia setelah pisang, dan 70 persen dikonsumsi dalam bentuk nanas segar di Negara produsen.
Tabel 2: Nilai Ekspor Buah-Buahan Tropis Berdasarkan Negara Tujuan (ribu USD)
PISANG 1.503.457,00 528.114,00
Iran,islamic Rep. Of Segar 985.270,00 341.055,00
United Arab Emirates Segar 167.310,00 55.986,00
NANAS 106.800,00 101.793,00
Japan Segar 91.800,00 95.193,00
Kuwait Segar 15.000,00 6.600,00
ALPOKAT 2.567,00 3.242,00
Malaysia Segar 1.042,00 321,00
Brunei Darussalam Segar 1.525,00 2.921,00
JAMBU BIJI 18.078,00 9.177,00
Japan Segar 5.355,00 2.677,00
China Segar 11.045,00 5.521,00
MANGGA 8.317,00 9.759,00
Singapore Segar 3.186,00 3.227,00
United States Segar 507,00 1.582,00
MANGGIS 7.411.418,00 3.805.437,00
Hong Kong Segar 2.789.492,00 1.479.271,00
China Segar 3.173.773,00 1.676.864,00
JERUK 157.367,00 68.911,00
China Segar 48.988,00 17.990,00
Singapore Segar 26.771,00 20.285,00
ANGGUR 32.023,00 41.120,00
Singapore Olahan 32.023,00 41.120,00
MELON 27.362,00 29.158,00
Japan Segar 23.922,00 26.409,00
Singapore Segar 2.940,00 2.477,00
PEPAYA 33.569,00 13.620,00
Japan Segar 923,00 743,00
Hong Kong Segar 32.440,00 12.490,00
APEL 17.934,00 14.766,00
Japan Segar 17.934,00 14.766,00
PIR DAN KWINI 43.952,00 12.983,00
Singapore Segar 8.913,00 6.750,00
Malaysia Segar 30.000,00 2.100,00
CERI 19.441,00 4.870,00
Singapore Segar 1,00 10,00
Saudi Arabia Segar 19.440,00 4.860,00
STRAWBERI SEGAR 44.225,00 21.967,00
Malaysia Segar 38.802,00 6.461,00
Brunei Darussalam Segar 5.388,00 15.383,00
Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Perdagangan, 2008
Sedangkan produksi nanas itu sendiri berdasarkan wilayah dan volume produksi yang dihasilkan berdasarkan data tahun 2006 dapat dilihatpada gambar 1 sebagai berikut:
Gambar: Peta Produksi Nenas Berdasarkan Volume Produksi Tahun 2006 (ton)
Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Perdagangan, 2006
Diketahui bahwa beberapa spec standar yang diterapkan untuk produk nenas ekspor adalah :
1. Berat: 1.3 – 2 kg / pcs
2. Kematangan: 70% dengan 2-3 mata kuning
3. Bentuk: bulat dengan diameter minimal 10 cm
• Varietas nenas yang sudah dibudidayakan dan diekspor adalah varietas Smooth Chayenne
• Permintaan akan nenas dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pada saat tidak dapat memenuhi permintaan disebabkan tidak ada lagi lahan yang diperuntukkan memenuhi pasar ekspor
Selain itu juga diketahui bahwa berdasarakan Permendag RI No: 24/M-DAG/PER/6/2008 tentang Penentuan Ekspor Pisang dan Nanas ke Jepang dalam rangka EPA (Indonesia Japan-Economic Partnership Agreement) kuota nanas sebanyak 1000 metrik ton selama periode 2008 – 2012. Kesempatan ini masih belum dimanfaatkan sampai saat ini karena sulitnya persyaratan yang harus dipenuhi Indonesia terutama dari aspek phytosanitarynya.
Salah satu syarat dari phytosanitary yang ditentukan oleh berbagai Negara (pada umumnya Negara-negara maju) tersebut itulah yang merupakan salah satu hambatan dari upaya peningkatan volume transaksi ekspor komoditas nanas Indonesia itulah yang masih merupakan suatu kendala. Sehigga perlu dilakukan suatu terobosan baik ditingkat kebijakan perusahaan/elsportir/produsen, maupun ditingkat kebijakan pemerintah. Karena dengan upaya-upaya pengembangan pengelolaan produk tersebut itu jugalah maka potensi ekspor nanas local dapat terus ditingkatkan, dan ini memerlukan kerjasama dan koordinasi yang baik dari berbagi pihak yang terlibat.
3.2. Rantai Pasok Produksi Komoditas Nanas Indonesia.
Dari aspek kemampuan produksi, secara umum untuk komoditas nanas belum optimal, selain masalah optimalitas produksi hasil komoditas yang berkaitan dengan masalah lahan, pembibitan, pola tanam dan budidaya; masalah pasca panen dan produksi seperti jaminan kualitas, penerimaan barang, penyimpanan, sampai dengan proses pemasran dan distribusi termasuk dalam hal ini adalah proses pembayaran transaksi yang pada akhirnya akan menghambat jangka waktu/rentan waktu proses pemindahan produk dari produsen ke konsumen. Kesemua unsur tersebut jika dimasukan dalam suatu strategi produksi adalah bagian-bagian dari rantai pasok produksi yang mana oleh Siagian (2005) dikatakan sebagai hubungan interaksi supplier-customer yang saling besinergi dan terkait. Tentu saja upaya peningkatan kualitas tersebut harus dilakukan secara`berkala, berkelanjutan, dan terstruktur.
Pada gambar 2 dapat dilihat bagaimana unsur-unsur dalam kegiatan rantai pasok untuk komoditas nanas ini bisa dilakukan dalam rangka pencapaian optimalitas hubungan antara supplier dan customer tersebut sehingga mampu membentuk suatu kepuasan terhadap pelanggan yang bermuara pada peningkatan produksi dan transaksi perdagangan nanas itu sendiri.
Gambar 2: Interaksi Antar Pihak Yang Terkait Dalam Proses Produksi
Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian, 2010
Dikatakan bahwa pada produk hortikultura, salah satu rangkaian yang patut diperhitungkan adalah masalah rantai pasok dari produk itu sendiri. Hal ini merupakan catatan penting bagi pelaku pasar terutama bagi pihak produsen itu sendiri. Dimana rantai pasok itu sendiri akan menentukan bagaimana proses transformasi dari model perilaku ekonomi yang berbasis tradisional akan mengarah pada proses produksi sekaligus pada perilaku ekonomi yang lebih modern sehingga rentang waktu dan hambatan jarak tempuh proses pemindahan produk dari produsen ke konsumen akan lebih efisien dan efektif. Selain itu juga potensi kerugian akibat kerusakan dan kegagalan yang pada umumnya kerap terjadi terutama pada proses pasca panen/prosuksi dapat diminimalisir. Begitupula dengan permasalahan seperti kualitas dan nilai estetika produk yang dapat mempengaruhi banyaknya permintaan dan harga produk itu sendiri dapat lebih terjamin. Pada gambar 3 akan diilustrasikan bagaimana kegiatan rantai pasok untuk komoditi nenas mampu memberikan jaminan harga dan permintaan berdasarkan unsur-unsur produksi yang saling terkait baik selama proses pra-panen sampai pasca-panen berlangsung.
Gambar 3: Proses Rangkaian Rantai Pasok Komoditas Nenas Lokal
Dari gambar dapat dijelaskan berbagai pihak mulai dari petani (baik plasma maupun non plasma) masing-masing berinteraksi dan berkoordinasi dengan berbagai pihak, sehingga komoditi yang akan dijual bisa sampai pada tujuan sesuai dengan tepat waktu, harga, jumlah, dan kualitas yang diinginkan. Dan tentu saja hal ini menyangkut pada tingkat kepuasan pelanggan dalam mengkonsumsi produk yang diinginkan termasuk juga dalam hal ini kepuasan bagi seorang produsen dalam menghasilkan keuntungan yang diinginkan.
IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Dalam upaya meningkakan daya saing produk unggulan hortikultura dalam hal ini adalah komoditi nanas, beberapa catatan yang patut diperhitungkan dan dikembangkan adalah bagaimana komoditi tersebut mampu dan memiliki kapasitas untuk bersaing dipasar baik itu di pasar domestic maupun pasar luar negeri. Pengembangan produk unggulan tersebut harus dilaksanakan melalui serangkaian proses yang terkait dan sistematis mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran (Kartasasmita, 1996).
???? (kehabisan ide)…..
DAFTAR PUSTAKA
Besterfield, D. H., 2003, Total Quality Management, 3rd edition, Pearson Education, Inc.
Curry, F.E. 2001. Memahami Ekonomi Internasioanal. World Trade Press, Jakarta.
Heizer and Render, 2004, Operations Management, Fifth Edition, International Edition, Prentice Hall, Internasional, Inc
Indonesia Policy Briefs,. 2010,. Memulihkan Daya Saing,. World Bank Report
Kartasasmita. Ginanjar. 1996. Membangun Pertanian Abad-21: Menuju Pertanian yang Berkebudayaan Industri. Majalah Triwulananan Perencanaan Pembangunan No. 06 September/Oktober 1996. Jakarta
Kindleberger, C.P. dan D.H. lindert. 1982. Internacional Economics. Richard D. Irwin Inc, Massachusetts
Krugman, P.R. dan M. Obstfeld.2000, Internacional Economics: Theory and Policy. Fifth Edition. Addison-Wesley Publishing Company, New York
Porter, E.M. 1980. Competitiveness Strategy. Techniques for Analysisng Industries and Competitors. The Free Press. New York
Salvatore. 2004. International Economics
Saptana; Sumaryanto; Siregar M; Maryowani H; Sodikin I; dan Friyanto S. 2001. Analisis Keunggulan Komparatif Komoditas Unggulan Hortikultura. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor
Saragih, B. 1994. Agribisnis Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Kumpulan Pemikiran. Yayasan Mulia Persada Indonesia-PT. Surveyor Indonesia-Pusat Studi Pembangunan IPB. Jakarta
Siagian Y.M., 2005, Aplikasi Supply Chain Management Dalam Dunia Bisnis, Gramedia, Jakarta
Sudaryanto, T.dan P.U. hadi.2000. Dampak liberaliasasi Perdagangan pada Komoditas Agribisnis Indonesia. Makalah disampaikan pada Agro Expo, Jakarta
World Economic Forum. 2008. The Global Competitiveness Report
Zabidi, Yasrin, 2001, Supply-Chain Management: Teknik Terbaru dalam Mengelola Aliran Material/Produk dan Informasi dalam Memenangkan Persaingan, Jurnal “Usahawan” No.2 Th XXX