Sunday, March 25, 2012

ANALISIS PERDAGANGAN INTERNASIONAL KOMODITAS NENAS DENGAN PENDEKATAN SCM

ANALISIS PERDAGANGAN INTERNASIONAL KOMODITAS NENAS DENGAN PENDEKATAN SCM (SUPPLY CHAIN MANAGEMENT)

Faurani Santi Singagerda

I. PENDAHULUAN
Dalam konteks perekonomian suatu negara, salah satu wacana yang menonjol adalah mengenai pertumbuhan ekonomi. Meskipun ada juga wacana lain mengenai pengangguran, inflasi atau kenaikan harga barang-barang secara bersamaan, kemiskinan, pemerataan pendapatan dan lain sebagainya. Namun pertumbuhan ekonomi menjadi penting dalam konteks perekonomian suatu negara karena dapat menjadi salah satu ukuran dari pertumbuhan atau pencapaian perekonomian bangsa tersebut, meskipun tidak bisa dinafikan ukuran-ukuran yang lain. Wijono (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan pembangunan. Salah satu hal yang dapat dijadikan motor penggerak bagi pertumbuhan adalah perdagangan internasional. Salvatore menyatakan bahwa perdagangan dapat menjadi mesin bagi pertumbuhan ( trade as engine of growth, Salvatore, 2004). Jika aktifitas perdagangan internasional adalah ekspor dan impor, maka salah satu dari komponen tersebut atau kedua-duanya dapat menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan. Tambunan (2005) menyatakan pada awal tahun 1980-an Indonesia menetapkan kebijakan yang berupa export promotion. Dengan demikian, kebijakan tersebut menjadikan ekspor sebagai motor penggerak bagi pertumbuhan.
Ketika perdagangan internasional menjadi pokok bahasan, tentunya perpindahan modal antar negara menjadi bagian yang penting juga untuk dipelajari. Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Vernon, perpindahan modal khususnya untuk investasi langsung, diawali dengan adanya perdagangan internasional. Ketika terjadi perdagangan internasional yang berupa ekspor dan impor, akan memunculkan kemungkinan untuk memindahkan tempat produksi. Peningkatan ukuran pasar yang semakin besar yang ditandai dengan peningkatan impor suatu jenis barang pada suatu negara, akan memunculkan kemungkinan untuk memproduksi barang tersebut di negara importir. Kemungkinan itu didasarkan dengan melihat perbandingan antara biaya produksi di negara eksportir ditambah dengan biaya transportasi dengan biaya yang muncul jika barang tersebut diproduksi di negara importir. Jika biaya produksi di negara eksportir ditambah biaya transportasi lebih besar dari biaya produksi di negara importir, maka investor akan memindahkan lokasi produksinya di negara importir.
Akan tetapi, dalam kenyataannya beberapa kendala dalam menghadapi liberalisasi perdagangan yang memiliki konsekwensi peningkatan daya saing baik terhadap produk-produk yang akan diekspor maupun produk dalam negeri yang harus bersaing dengan produk luar yang masuk ke Indonesia. Beberapa kendala seperti kurangnya perencanaan dalam pengembangan produk, tidak adanya keseimbangan jumlah pasokan dan permintaan, informasi (baik pasar maupun produk) yang tidak memadai; kerap kali muncul dan menjadi suatu permasalahan yang klasik dalam meningktkan kinerja ekspor di Indonesia. Dengan adanya kondisi harga komoditas yang tidak menentu, dan iklim usaha yang belum memperhitungkan aspek kendala dalam hal transportasi, distribusi, dan penerapan teknologi yang kesemuanya belum mengarah pada orienasi pasar sehingga mempengaruhi keberlanjutan usaha dalam jangka panjang. Selain itu juga dengan adanya permasalahan dalam aspek manajemen dan kelembagaan yang berfungsi sebagai faktor pendukung dalam proses produksi pun masih banyak mengalami permasalahan, sehingga dengan kondisi tersebut, pihak-pihak yang terlibat (baik eksportir maupun importer) kerap kali mengalami kendala seperti masalah perizinan, promosi, pendanaan, maupun akses pasar. Belum lagi kondisi perdagangan yang hampir dari sebagian besar belum melakukan diversifikasi usaha akibat belum jelinya melihat bagaimana potensi pasar yang masih sangat terbuka berikut resiko yang akan dihadapi oleh mereka.
Dengan semakin terbuka lebarnya pintu globalisasi sebagai suatu pintu gerbang adanya liberalisasi perdagangan baik di tingkat lokal, regional, nasional, hingga internasional, dan seiring dimulainya AFTA, ACFTA, AFLA, NAFTA, APEC hingga akhirnya WTO sehingga seluruh dunia nantinya akan menjadi satu pasar membuat tingkat persaingan semakin tinggi di bidang industri jasa maupun manufaktur. Pasar bebas adalah ancaman berbahaya yang harus diantisipasi dengan baik namun sekaligus juga sebagai peluang besar untuk pengembangan usaha. Dimulainya pasar global dengan didukung kemajuan teknologi informasi akan mempercepat terjadinya perubahan pasar. Akibatnya daur hidup (Life Cycle) sebuah produk semakin pendek. Hal ini menuntut kesiapan suatu perusahaan untuk selalu mengembangkan inovasi produk dan ketepatan dan kecepatan dalam peluncuran produk ke pasar sehingga bisa memimpin dan mendominasi pasar. Dukungan sumber daya manusia yang berkualitas, adaptif, kreatif dan produktif menjadi sangat penting untuk mengantisipasi perubahan pasar di era global.
Selain itu juga dengan kondisi lemahnya sistem jaringan koleksi dan distribusi nasional yang kurang mendukung peningkatan daya saing ekspor, juga merupakan suatu gambaran dari mekanisme perdagangan internasional yang turut menyumbang menurunnya kinerja ekspor Indonesia akhir-akhir ini. Kondisi dimana jaringan koleksi dan distribusi barang dan jasa perdagangan dalam negeri banyak mengalami hambatan karena belum terintegrasinya sistem perdagangan di tiga tingkatan pasar (pengumpul, eceran, dan grosir) serta maraknya berbagai pungutan dan peraturan di tingkat daerah akibat penyelenggaraan otonomi. Masalah ini menyebabkan berkurangnya daya saing produk dalam negeri untuk dimanfaatkan sebagai bahan antara (intermediate goods) karena kalah bersaing dengan produk impor sejenis dan berkurangnya daya saing produk yang langsung di ekspor. Masalah ini juga menyebabkan berkurangnya atau bahkan terbatasnya pilihan pemasaran para produsen ke dalam jaringan pasar dalam negeri yang dampaknya lebih jauh adalah kelesuan untuk peningkatan volume produksinya. Perbaikan dalam sistem jaringan koleksi dan distribusi nasional, selain bermanfaat untuk peningkatan daya saing produk ekspor, juga akan meningkatkan ketahanan ekonomi karena mendorong integrasi komponen-komponen produksi dalam negeri yang terkait. Lebih jauh lagi, perbaikan sistem akan memiliki kehandalan di dalam mendorong perwujudan stabilitas harga serta bermanfaat untuk pengamatan dini (early warning system), misalnya terhadap kemungkinan serbuan produk-produk impor tertentu, gangguan terhadap pasokan dan distribusi barang.
Produk hortikultura merupakan kelompok produk pertanian yang diperdagangkan dan secara langsung merasakan dampak dari liberalisasi perdagangan, dimana produk hortikultura ini secara historis memiliki nilai strategis pada sub-sektor perdagangan bagi produsen, pelaku pasar dan konsumen di Indonesia. Bagi petani sebagai produsen, produk hortikultura memiliki nilai ekonomi yang relatif lebih tinggi dibanding tanaman pangan, untuk setiap unit luasan produksi. Bagi pelaku pasar, produk hortikultura memiliki kapasitas permintaan yang tinggi, dengan peluang variasi jenis produk yang beragam mulai dari produk segar maupun beragam produk olahan. Sementara itu bagi konsumen, kebutuhan akan produk hortikultura semakin meningkat sejalan dengan peningkatan pengatahuan konsumen akan gizi dan kesadaran hidup sehat.
Pasar produk hortikultura relatif lebih terbuka, dengan segmentasi pasar yang luas. Ditinjau dari segi permintaan, prospek permintaan domestik akan produk hortikultura cenderung meningkat, sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan masyarakat serta berkembangnya pusat kota, industri dan pariwisata. Sementara itu dari segi kualitas permintaan, segmentasi produk hortikultura menjadi semakin beragam sejalan dengan preferensi konsumen yang semakin memahami pengatahuan akan gizi, serta berkembangnya sentra pasar dan perkembangan industri pengolahan produk berbasis hortikultura.
Perubahan lingkungan strategis dalam perekonomiaan secara umum, khususnya sektor pertanian turut mempengaruhi dinamika pasar produk hortikultura. Hal tersebut bisa dilihat dari implikasi liberalisasi perdagangan dan integrasi pasar, yang mendorong pertumbuhan pasar modern menjadi semakin pesat, selain pasar tradisional. Tingkat penetrasi pasar telah sampai ke pelosok pedesaan dan arus lalu lintas produk hortikultura baik antar wilayah dalam negeri maupun ekspor impor menjadi semakin terbuka.
Situasi tersebut mendorong peningkatan perdagangan produk hortikultura, serta meningkatkan kompleksitas peran pelaku pasar dalam rantai pasokan produk hortikultura. Pertumbuhan pasar produk hortikultura tersebut memberikan peluang bagi petani hortikultura untuk meningkatkan akses mereka terhadap pasar. Namun disisi yang lain, situasi pasar yang terbuka membuat tingkat persaingan antar pelaku pasar menjadi semakin tinggi, dimana petani sebagai produsen dalam posisi yang lemah dibanding pelaku pasar yang lain.
Nanas yang merupakan salah satu produk unggulan komoditas hortikultra yang memilki nilai ekonomis dan permintaan pasar yang tinggi, dimana berdasarkan data Ditjen Hortikultura Departemen Pertanian, 2008 menjelaskan bahwa kontribusi subsector hortikultura pada Produk Domestik Bruto (berdasarkan harga yang berlaku sebesar Rp. 74.768 Triliun pada tahun 2007, dan diproyeksikan mencapai Rp. 78.2929 triliun. Walaupun produk hortikultura umumnya mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, namun produk hortikultura mempunyai karakteristik yang mudah rusak (perishable) sehingga hal tersebut sangat berdampak terhadap harga dan pendapatan petani. Artinya dalam pengembangan hortikultura perlu mempertimbangkan banyak faktor, seperti permintaan (kebutuhan) pasar, jalur distribusi, rantai pasar, mutu produk dan faktor-faktor lainnya yang terkait mulai dari produk tersebut dihasilkan sampai ke tangan konsumen. Di sisi lain tuntutan masyarakat terhadap produk hortikultura bermutu semakin tinggi. Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di dalam negeri, yang dicirikan dengan berkembangnya pasar-pasar swalayan/hypermart di kota-kota besar memberikan peluang dan tantangan tersendiri karena pasar-pasar tersebut melayani pangsa pasar masyarakat menengah-atas, yang menuntut kualitas produk pada tingkat tertentu yang lebih baik. Perkembangan pasar-pasar swalayan yang pesat tersebut perlu disikapi pula dengan penyediaan produk hortikultura yang bermutu termasuk juga dengan komoditas nenas.
Dari Tabel Lampiran 1, diantara komoditas buah-buahan, komoditas nenas memiliki nilai dan volume yang cenderung tertinggi pada periode 2003 – 2009. Indonesia merupakan produsen nenas terbesar kelima setelah Brazil, Thailand, Filipina dan Cina. Namun peran ekspor nanas Indonesia adalah no ke-19. Rendahnya ekspor tersebut berkaitan dengan muta produk yang belum memenuhi standar pasar dunia.
Kurang kompetitifmya komoditas nenas di pasar internasional diduga disebabkan oleh sistem produksi di lokasi yang terpencar, skala usaha sempit dan belum efisien, serta jumlah produksi terbatas. Selain itu dukungan kebijakan perbankan, perdagangan, ekspor dan impor belum berpihak kepada pelaku agribisnis hortikultura dalam negeri.
Secara umum, agribisnis hortikultura memiliki empat kekhasan tersendiri seperti: (1) petani memproduksi berdasarkan orientasi pasar, (2) wilayah produksi terkonsentrasi pada kabupaten-kabupaten atau kecamatan-kecamatan tertentu, (3) fluktuasi harga produksi yang tinggi disebabkan ketidaksinkronan supply antar wilayah produksi, (4) struktur agribisnis yang tersekat-sekat, yang tampak dari hubungan kelembagaan yang lemah antar komponen agribisnisnya. Sehingga dalam hal ini, pembangunan agribisnis hortikultura perlu memperhatikan keseluruhan aspek dan segmen agribisnis dari hulu sampai ke hilir dan perangkat penunjangnya menuju keseimbangan antara usaha promosi peningkatan produksi, perbaikan distribusi dan promosi peningkatan konsumsi, serta menguntungkan semua pihak. Berkaitan dengan hal tersebut, program pembangunan agribisnis hortikultura perlu disusun dengan memperhatikan keberadaan dan berfungsinya berbagai perangkat keras dan lunak, yang ada di daerah setempat diantaranya kebijakan, prasarana dan sarana, kelembagaan, teknologi, sistem informasi dan permodalan. Selanjutnya untuk memetakan kondisi dan permasalahan yang ada, membuat analisis kebutuhan perbaikan, menetapkan target-target perbaikan dan menyusun rencana aksinya dapat digunakan dengan pendekatan SC. Sebab, dengan pendekatan SCM dapat memperbaiki dalam pengembangan produk hortikultura baik mutu, jumalh maupun rutinitasnya yang pada gilirannya dapat menjawab tantangan di bidang hortikultura, khususnya dalam menghadapi era globalisasi.

1.1. Permasalahan
Potensi hortikultura Indonesia khususnya komoditas nenas masih belum secara optimal diupayakan karena tingkat persaingan yang tinggi dengan produk hortikultura lain, masih rendahnya kualitas dan kuantitas pasokan nenas lokal serta informasi harga dan pasar masih belum secara transparan sampai ke tingkat petani. Secara umum beberapa ciri yang melekat pada pengembangan nenas adalah pengembangan yang kurang terencana, petani mengusahakan suatu tanaman lebih pada informasi harga pada musim-musim sebelumnya, sementara keseimbangan jumlah pasokan dan permintaan belum dapat diantisipasi dengan baik. Akibat lebih lanjut adalah (i) fluktuasi harga antar waktu sangat tinggi (ii) penerapan teknologi lebih didasarkan pada apa yang diinginkan petani, belum melihat apa yang dibutuhkan tanaman, apalagi yang terkait dengan kualitas produk yang diminta pasar (iii) dari aspek kelembagaan, belum dapat diidentifikasi dengan baik faktor pengikat yang dapat mempersatukan petani pada satu wadah yang solid (iv) diversifikasi usaha belum memperhitungkan pembagian resiko, namun lebih pada upaya menjaga stabilitas pendapatan (v) petani selalu berada pada posisi yang kurang diuntungkan dalam hal informasi, terutama informasi harga (vi) belum semua pelaku pasar menikmati keuntungan sesuai dengan pengorbanan yang diberikannya (vii) belum ada insentif di tingkat petani untuk mengembangkan produk sesuai dengan segmentasi pasar.
Berdasarkan gambaran di atas, terlihat bahwa untuk meningkatkan daya saing dan menangani masalah perdagangan nenas dan produk hortikultura secara umum tidak dapat dilakukan secara parsial, dengan hanya melihat pasar dengan para pelakunya, keterkaitan dengan aspek lain seperti budidaya (teknologi produksi) serta kelembagaan pendukung sangat menentukan keberhasilan dalam memecahkan masalah pemasaran.
Untuk itu maka pemahaman mendalam mengenai rantai pasokan, mulai dari pasokan sarana produksi, produksi, pasca panen, pemasaran hingga distribusi ke konsumen menjadi sangat penting, sebagai pertimbangan untuk mengembangkan dukungan bagi petani untuk memperkuat akses pasar mereka.

1.2. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menganalisis rantai pasok komoditas nenas hortikultura dalam meningkatkan akses pasar dan daya saing, meliputi:
a. Memetakan potensi produksi nenas
b. Menganalisis peran pelaku dalam rantai pasok nenas
c. Menganalisis struktur dan sistem informasi rantai pasok nenas
d. Menganalisis sistem distribusi dan nilai tambah rantai pasok nenas
e. Menganalisis ekonomi rantai pasok nenas


II. TINJAUAN TEORITIS DAN PUSTAKA
Nanas merupakan salah satu produk unggulan komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi dengan karakteristik yang mudah rusak, meskipun demikian sebagai produk yang mudah rusak nanas memiliki potensi pasar yang cukup tinggi, seperti diketahui pada lampiran dari tahun ke tahun perdagangan (ekspor) nenas terus mengalami peningkatan. Disamping itu masalah mutu dan kualitas dari produk itu sendiri sangat mendukung bagi perkembangan permintaan produk nanas oleh luar negeri, sejalan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, tuntutan akan kualitas produk nenas yang bermutu dengan tingkat kesegaran, warna bahkan kemasan dari produk tersebut ikut andil dalam proses pembentukan harga nanas itu sendiri.
Berkaitan dengan transaksi perdagangan luar negeri (ekspor) nanas, masalah tarif juga merupakan masalah yang kerap muncul. Akan tetapi dengan masuknya era liberalisasi perdagangan akhir-akhir ini, maka masalah tarif justru sangat erat kaitannya dengan masuknya komoditas sejenis dari luar negeri ke Indonesia yang konsekwensi nya adalah menyangkut daya saing produk nenas asing terhadap produk nenas lokal.
Di tingkat perdagangan internasional dimana hambatan tariff telah dihilangkan/dikurangi melalui kesepakatan WTO, lalulintas produk komoditas pertanian suatu negara dapat masuk ke berbagai negara di dunia sejauh memenuhi ketentuan persyaratan teknis di negara tujuan. Transaksi perdagangan komoditas hortikultura dunia yang tinggi merupakan peluang yang sampai saat ini masih belum dimanfaatkan oleh pebisnis hortikultura nasional. Kendala mutu terutama dalam menghasilkan produk bermutu yang memenuhi standar sertifikasi mutu nasional/regional/internasional dan ketersediaan data yang terkait dengan persyaratan SPS dan persyaratan karantina lainnya merupakan hambatan utama dalam meraih pangsa pasar hortikultura global. Demikian pula sistem rantai pasokan komoditas yang belum tertata dengan baik telah melemahkan daya saing produk hortikultura Indonesia di pasar dalam negeri dan juga di pasar internasional, termasuk di antaranya kelembagaan usaha di tingkat petani yang belum solid, kemitraan yang belum transparan dan rantai pasokan yang panjang dan tidak efisien.
Dalam rangka meningkatkan daya saing produk hortikultura, maka pemerintah dalam hal ini Direktorat Jendral Hortikultura Departemen Pertanian mengeluarkan 6 pilar pengembangan hortikutura sebagai suatu kebijakan, adapun 6 pilar tersebut adalah:
1. Pengembangan kawasan hortikultura dibeberapa wilayah yang disatukan dengan fasilitas infrastruktur ekonomi
2. Penerapan Supply Chain Management (SCM)
3. Penerapan GAP/SOP dengan spesifik komoditas, dan sasaran market umtuk meningkatkan produktivitas, kualitas produk dan daya saing produk.
4. Fasilitas terpadu Investasi Hortikultura (FATIH) untuk menciptakan inovasi yang mampu memperbaiki kinerja system segmen rantai pasok
5. Pengembangan Kelembagaan usaha yang mampu memperkuat kohesi horizontal dari para pelaku-pelaku usaha dari suatu segmen rantai pasok dan integrasi vertical dari pelaku usaha dari segmen yang berbeda dalam rantai pasokan.
6. Peningkatan Konsumsi dan Akselerasi Ekspor, sebagai upaya untuk meningktkan produksi dan mutu hortikultura yang diharapkan mampu mendorong upaya peningkatan konsumsi.
Upaya peningkatan daya saing produk hortikultura melalui kebijakan 6 pilar pengembangan hortikultura tersebut dilakukan berdasarkan fakta dan kondisi perdagangan ekspor impor di Indonesia yang mana berdasarkan data Kadin (2006) hampir sebagian besar ekspor produk Indonesia ke pasar internasional masih banyak bersifat produk tradisional dalam bentuk bahan baku (raw material). Pelaku usaha agribisnis khususnya produk hortikultura Indonesia dalam pasar internasional pasti akan menghadapi pembeli besar berupa importir atau industri pengolahan lanjutan. Posisi semacam ini cenderung menempatkan Indonesia pada posisi yang lemah karena besarnya volume pembelian yang dilakukan oleh pasar industri dan sedikitnya jumlah pembeli. Kelemahan ini semakin menumpuk karena adanya kecenderungan atas homogenitas produk yang kita hasilkan dengan produk yang dihasilkan oleh negara lain.
Posisi Indonesia dalam kesepakatan perdagangan bebas dunia relatif kurang menguntungkan. Seiring dengan semakin liberalnya perdagangan dunia, Indonesia harus meningkatkan kemampuan bersaingnya di pasar global. Pasar global dapat bermakna pasar internasional di negara lain dan pasar dalam negeri yang sudah semakin dipenuhi dengan produk impor. Melihat kondisi perekonomian Indonesia dikhawatirkan dampak globalisasi akan memberi dampak negatif bagi Indonesia, terutama kalau Indonesia tidak mampu menjadi pemasok bagi kebutuhan produk vital, seperti pangan. Publikasi The Global Competitiveness Report yang diterbitkan oleh World Economic Forum pada tahun 2008 menunjukkan bagaimana daya saing Indonesia dalam persaingan global. Pada tahun 2008, peringkat daya saing Indonesia berdasarkan Growth Competitiveness Index berada di urutan ke–55 dari 134 negara, data selengkapnya terdapat pada tabel pada berikut. Prestasi Indonesia di 2008 tersebut relatif tidak mengalami kemajuan dibandingkan prestasi tahun 2007 yang berada di urutan 54 dari 131 negara.
Peningkatan daya saing perlu mendapat perhatian karena punya potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia. Ketersediaan pasokan bahan baku, tenaga kerja, dan teknologi yang relatif melimpah semestinya mampu dikembangkan lebih jauh. Menurut penelitian yang dilakukan Asia Development Bank (ADB) Institute (2003), daya saing berart kemampuan perusahaan untuk bersaing. Perusahaan memiliki strategi tersendiri untuk menurunkan biaya, meningkatkan kualitas produk, dan mendapatkan jaringan pemasaran.



















Tabel 1: Index Daya Saing (berdasarkan urutan Negara produsen) Tahun 2008

Sumber: Departemen Perdagangan, 2010
Harga sebagai salah satu pembentuk nilai suatu produk merupakan komponen yang menentukan banyaknya permintaan akan suatu produk/barang, dimana dikatakan bahwa harga berkaitan dengan menjelaskan kegiatan ekonomi dalam hal penciptaan dan transfer nilai, yang mencakup perdagangan barang dan jasa antara agen ekonomi yang berbeda. Harga kadang dapat alternatif mengacu pada jumlah pembayaran yang diminta oleh penjual barang atau jasa, bukan jumlah pembayaran akhirnya. Jumlah ini yang diminta sering disebut harga permintaan atau harga jual, sedangkan pembayaran yang sebenarnya dapat disebut harga transaksi atau diperdagangkan harga. Demikian pula, harga penawaran atau harga beli adalah jumlah pembayaran yang ditawarkan oleh seorang pembeli barang atau jasa, walaupun makna ini lebih sering terjadi pada aset atau pasar keuangan daripada di pasar konsumen. Sedangkan teori harga itu sendiri menegaskan bahwa harga pasar mencerminkan interaksi antara dua sisi (permintaan dan penawaran) yang berlawanan. Di satu sisi adalah permintaan yang didasarkan pada utilitas marjinal, sementara di sisi lain dilihat berdasarkan pada biaya marjinal. Hampir sama dengan komoditas lainnya, untuk komoditas nenas itu sendiriri, proses terjadinya harga terjadi akibat adanya jumlah permintaan di pasar, sehingga dalam proses pembentukan harga ini sendiri harus dikaitkan dengan banyaknya supply dan kualitas dari barang itu sendiri. Hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya pendapatan masyarakat dunia, yang menginginkan produk yang dibutuhkan memiliki nilai estetika dan tingkat gizi yang tinggi. Begitupula dengan faktor perubahan permintaan yang menjadi suatu unsur terbentuknya harga pasar juga merupakan suatu unsur bagi terbentuknya suatu harga. Kita telah mengetahui bahwa bertambahnya permintaan mempunyai tendensi mengakibatkan meningkatnya harga pasar. Meningatkanya harga pasar, yang dari sudut pandangan produsen merupakan kenaikan harga jual mereka, bertendensi menimbulkan keinginan para produsen untuk menjual lebih banyak daripada sebelumnya. Akan tetap keinginan untuk meningkatkan volume penjualan mereka tersebut tidaklah mereka laksanakan seketika. Pertama-tama mereka akan mempertimbangkan apakah harga jual yang lebih tinggi daripada sebelumnya tersebut akan berlangsung lama ataukah tidak. Untuk memperoleh keyakinan tersebut pada umumnya memerlukan waktu. Kedua ialah bahwa untuk dapat menjual jumlah lebih banyak dibandingkan sebelumnya produsen harus memprodusir jumlah yang lebih banyak.
Oleh karena itu, nenas sebagai produk yang diperjualbelikan dalam suatu pasar pada akhirnya akan membentuk suatu harga berdasarkan banyaknya jumlah permintaan dan supply yang tersedia, sehingga pada akhirnya produk itu sendiri akan menggeser jumlah atau kuantitas barang sesuai dnegan harga yang berlaku.
Berkaitan dengan era perdagangan liberal akhir-akhir ini, produk nanas juga merupakan komoditi yang diperjualbelikan antar wilayah maupun antar negara. Dimana sebagai komoditi yang diperjualbelikan antar negara, melibatkan banyak pihak yang terkait (dalam hal ini pihak-pihak antarnegara baik eksportir, importir, bank, maupun pemerintah).
Diketahui sebelumnya , bahwa perdagangan Internasional dapat diartikan sebagai transaksi dagang antara subyek ekonomi negara yang satu dengan subyek ekonomi negara yang lain, baik mengenai barang ataupun jasa-jasa. Adapun subyek ekonomi yang dimaksud adalah penduduk yang terdiri dari warga negara biasa, perusahaan ekspor, perusahaan impor, perusahaan industri, perusahaan negara ataupun departemen pemerintah yang dapat dilihat dari neraca perdagangan.
Berdasarkan teori J.S.Mill menyatakan bahwa suatu negara akan menghasilkan dan kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki comparative advantage terbesar dan mengimpor barang yang dimiliki comparative disadvantage (suatu barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau dihasilkan sendiri memakan ongkos yang besar). Selain itu juga oleh David Ricardo dikatakan bahwa lalu lintas pertukaran internasional hanya berlaku antara dua negara yang diantara mereka tidak ada tembok pabean, serta kedua negara tersebut hanya beredar uang emas. Ricardo memanfaatkan hukum pemasaran bersama-sama dengan teori kuantitas uang untuk mengembangkan teori perdagangan internasional. Walaupun suatu negara memiliki keunggulan absolut, akan tetapi apabila dilakukan perdagangan tetap akan menguntungkan bagi kedua negara yang melakukan perdagangan. Dan inilah yang melandasi terjadinya perdagangan internasional dan mengubah dunia menjadi globalisasi. Pemikiran kaum klasik telah mendorong diadakannya perjanjian perdagangan bebas antara beberapa negara. Teori comparative advantage telah berkembang menjadi dynamic comparativeadvantage yang menyatakan bahwa keunggulan komparatif dapat diciptakan. Oleh karena itu penguasaan teknologi dan kerja keras menjadi faktor keberhasilan suatu negara. Bagi negara yang menguasai teknologi akan semakin diuntungkan dengan adanya perdagangan bebas ini, sedangkan negara yang hanya mengandalkan kepada kekayaan alam akan kalah dalam persaingan internasional.
Berkaitan dengan itu pulalah, dalam memenangkan persaingan perdagangan khususnya dengan negara-negara lain yang memproduksi barang sejenis, teknologi dan inovasi merupakan hal penting yang tidak luput dari perhatian pelaku-pelaku pasar. Perkembangan teknologi dan inovasi produk tersebut berkaitan dengan jenis barang yang dihasilkan. Untuk komoditi hortikultura sendiri (dalam hal ini nenas), pengembangan kualitas produk/komoditi merupakan bagian terpenting dalam mata rantai proses perdagangan internasional mulai dari proses produk itu sendiri seperti pengembangan bibit, struktur tanah, curah hujan dan iklim, panen, packaging, penyimpanan, distribusi, proses transaksi pembayaran lintas negara, kebijakan , sampai dengan pemasaran) tidak luput dari perhatian dan menjadi suatu prioritas bagi pengembangan produk itu sendiri maupun pengembangan transaksi perdagangan. Yang mana kesemua unsur tersebut saling terkait, terutama untuk jenis produk hortikultura yang cenderung mudah rusak (perishable). Hal ini tentu saja berkaitan dengan jarak dan waktu tempuh yang dibutuhkan oleh produsen dalam menyampaikan barangnya kepada konsumen yang dituju. Dengan demikian diharapakan semakin berkembangnya teknologi, ilmu pengetahuan, dan inovasi mampu mengatasi banyaknya kendala yang dihadapi dalam proses perdagangan internasional.
Sebagai konsekwensi dari meningkatnya perdagangan internasional di seluruh dunia dan semakin mudahnya akses pasar dunia, maka tingkat persaingan antar negara pun juga sangat ketat terutama bagi negara-negara berkembang yang pada umumnya berada pada posisi dimana neraca perdagangan mengalami defisit, selain dituntut untuk meningkatkan kinerja ekspor nya negara itu sendiri pun pada umumnya memiliki tingkat komparatif yang relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara maju. Sebagai negara yang memiliki neraca perdagangan surplus, umumnya negara-negara maju juga memiliki posisi bargaining (tawar) yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Berbagai kebijakan yang sering diambil oleh negara-negara maju dalam rangka membatasi masuknya barang-barang impor dalam rangka melindungi produk domestiknya juga kerap dilakukan. Salah satu kebijakan proteksi yang kerap dilakukan adalah berkaitan dengan masalah tarif dan non tarif. Kebijakan tarif merupakan kebijakan proteksi yang diambil oleh suatu negara berkaitan dengan pengenaan pajak atas berang tertentu yang masuk atau keluar di suatu negara. Akan tetapi dengan adnya putaran Uruguay (GATT) tahun 1994 yang menjadi landasan utama terbentuknya WTO (World Trade Organization) dimana negara-negara didunia yang diharapkan untuk memberlakukan pembebasan tarif terhadap komoditas-komoditas perdagangan internasional, justru dalam prakteknya kerap dilanggar oleh sebagian negara-negara maju dengan memanfaatkan posisi mereka dalam perdagangan kedalam bentuk kebijakan non tarif. Penggunaan mereka telah meningkat tajam setelah aturan WTO menyebabkan penurunan yang sangat signifikan dalam penggunaan tarif. Beberapa hambatan perdagangan non-tarif secara tegas diizinkan dalam situasi yang sangat terbatas, ketika mereka dianggap perlu untuk melindungi kesehatan, keselamatan, atau sanitasi, atau untuk melindungi sumber daya alam depletable. Dalam bentuk lain, mereka dikritik sebagai alat untuk menghindari aturan-aturan perdagangan bebas seperti Dunia Trade Organization (WTO), Uni Eropa (UE), atau North American Free Trade Agreement (NAFTA) yang membatasi penggunaan tarif. Sehingga dapat dikatakan bahwa baik kebijakan tarif maupun non tarif merupakan kebijakan distorsi perdagangan internasional yang jelas-jelasnya menghambat perkembangan transaksi perdagangan internasional itu sendiri.
Meskipun demikian posisi negara-negara berkembang yang pada umumnya lemah terhadap posisi tawar dari negara-negara maju, tidak mampu menghindari kondisi distorsi perdagangan yang terjadi. Dimana praktek-praktek eksternalitas di bidang non tarif dalam beberapa tahun belakang ini justru semakin meningkat dan lazim dilakukan. Salah satu praktek kebijakan non tarif yang umumnya diberlakukan adalah menyangkut standarisasi seperti standarisasi produk, kemasan, pengiriman, unsur kimia, higienitas, dan sebagainya; merupakan bentuk dari praktek-praktek kebijakan non tarif.
Produk hortikultura dalam hal ini nenas juga tidak luput dari masalah kebijakan non tarif yang berkaitan dengan masalah standarisasi produk ekspor. Sebagai salah satu komoditi yang relatif rentan akan kerusakan, komoditi nenas membutuhkan suatu strategi tertentu yang dapat mengurangi resiko terhambatnya pasokan dan penurunan kualitas barang, dan tentu saja secara tidak langsung akan berpengaruh pada tingkat harga, dan kuantitas permintaan komoditi tersebut.
Salah satu inovasi terbaru yang merupakan bagian dari strategi pengembangan produk adalah komponen yang menyangkut rantai pasok komoditas. Strategi ini tentu saja diterapkan dalam rangka meningkatkan daya saing produk/komoditi ekspor. Sebagai bagian dari kegiatan transaksi perdagangan internasional sektor hortikultura juga tidak lepas dari peranan industri agribisnis itu sendiri dimana kegiatan industri tidak lepas dari hubungan atau transaksi antara supplier-customer untuk dapat memberikan keberlangsungan aktivitas produksi. Hubungan yang sinergis diperlukan untuk meningkatkan performa dari kinerja suatu perusahaan. Peningkatan performa kinerja ini akan berimbas pada peningkatan kualitas baik dari segi produk, pelayanan, maupun akreditasi perusahaan. Peningkatan kualitas secara berkelanjutan (continous improvement) akan bermuara pada satu titik tujuan, yaitu peningkatan produktivitas dan profit. Oleh karenanya, kegiatan supply-chain menegaskan interaksi antar fungsi pemasaran, pembelian dan produksi pada suatu perusahaan (Siagian, 2005). SCM atau manajemen rantai pasokan merupakan kegiatan pengelolaan kegiatan-kegiatan dalam rangka memperoleh bahan mentah menjadi barang dalam proses dan barang jadi kemudian mengirimkan produk tersebut ke konsumen melalui sistem distribusi (Heizer&Render, 2004).
Dalam paper ini, masalah rantai pasok perdagangan internasional pada produk nenas merupakan tujuan yang akan disorot. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan permasalahan supply-chain perdagangan nenas mulai dari kebun, kontraktor angkutan, pabrik, pergudangan, packaging, dan konsumen industri yang berkaitan dengan keunggulan nilai dan produktivitas. Diketahui bahwa supply-chain sebagai teknik terbaru dalam pengelolaan material dan informasi dalam memenangkan persaingan. Dengan kata lain hubungan antara pihak yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan rantai pasok harus mempertimbangkan bagaimana hubungan yang sinergis antara pihak-pihak yang terkait dapat berjalan dengan baik.

Gambar: Struktur Supply Chain
Seiring dengan berkembangnya zaman, terjadilah perubahan lingkungan dan orientasi bisnis. Perubahan ini disebabkan oleh semakin kompleksnya kebutuhan konsumen yang kritis, berkembang pesatnya infrastruktur informasi dan transportasi, tumbuhnya kesadaran akan pentingnya aspek sosial dan lingkungan, serta globalisasi perekonomian dunia. Hal ini menghasilkan paradigma berpikir baru terhadap urgensi dari keunggulan kompetitif. Pada akhirnya, paradigma inilah yang mengantarkan bahwa pendekatan SCM berbasis jalinan kerjasama baik internal, eksternal maupun fungsional dalam suatu struktur supply-chain sangat diperlukan untuk meraih keunggulan kompetitif tersebut. Selain itu fungsi utama dari SCM sendiri, yaitu sebagai pengkonversi bahan baku menjadi produk jadi yang sampai di tangan konsumen, dan sebagai mediasi pasar. Fungsi ini nantinya akan terkait dengan strategi yang SCM yang harus dijalankan, dengan mengetahui karakteristik dari produk seperti yang diilustrasikan di tabel 1 dan 2.
Tabel 1: Karakteristik Produk Fungsional Vs Inovatif

Sumber: Zabidi, 2001



Tabel 2: Strategi SCM Menurut Jenis Produk

Sumber: Zabidi, 2001
Lean Supply-Chain menekankan pada penghematan ongkos-ongkos fisik yang terjadi dalam aktivitas rantai pasok dan strategi ini sesuai jika diterapkan dengan sistem produksi yang memiliki tipikal produk lebih bersifat kebutuhan dasar. Sedangkan Agile Supply-chain menekankan pada kecepatan respon dalam menerima kebutuhan konsumen yang bervariasi dan membutuhkan spesialisasi, strategi ini sesuai apabila diterapkan pada karakteristik produk yang memerlukan inovasi secara berkelanjutan.
Dalam implementasi strategi SCM, terdapat beberapa jebakan yang harus di-aware oleh para pemegang kegiatan rantai pasok. Dalam studi literaturnya Lee dan Billington (1992), menyebutkan bahwa jebakan-jebakan itu antara lain :
• Pengukuran kinerja yang tidak terdefinisi dengan jelas
• Pelayanan konsumen yang tidak terdefinisi dengan jelas
• Status data pengiriman yang tidak akurat
• Sistem informasi yang tidak efisien
• Terabaikannya dampak uncertainty
• Kebijakan inventori yang sederhana
• Diskriminasi terhadap konsumen internal
• Koordinasi antar aktivitas supplai
• Analisis metode pengiriman yang tidak lengkap
• Kendala komunikasi
• Perancangan produk yang tidak mempertimbangkan SC
• Operasional SC yang terpisah
• Definisi ongkos yang tidak tepat
• Ketidaklengkapan rantai pasok itu sendiri
Dari paparan diatas, akhirnya dikatakan bahwa SCM akan segera menjadi keharusan bagi setiap perusahaan yang ingin bertahan, bukan hanya bagi perusahaan yang ingin memimpin kompetisi di pasaran (Zabidi, 2001).
Pendekatan rantai pasokan (supply/value chain) adalah jejaring organisasi yang saling tergantung dan bekerjasama dalam alur produk, informasi, layanan dan nilai dari mulai produsen sampai ke konsumen akhir. Dalam konteks sektor hortikultura, rantai pasokan merupakan wujud nyata dari kegiatan ekonomi, bisnis dan investasi yang dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam agribisnis hortikultura. Pendekatan rantai pasokan pada prinsipnya ingin melihat bagaimana para pelaku pasar dalam setiap mata rantai pasokan dan utamanya petani, memperoleh manfaat sesuai dengan pengorbanan yang diberikannya.
Rantai pasokan juga melihat perubahan nilai produk dalam setiap mata rantai oleh karena investasi dari masing masing pelaku, serta kesenjangan yang terjadi dalam atribut produk pada setiap mata rantai pasokan yang berimplikasi pada ketidak seimbangan manfaat yang diperoleh diantara pelaku dalam rantai pasokan. Dalam hal tersebut maka kebijakan dan layanan pemerintah menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa rantai pasokan tersebut berlangsung secara efisien dan adil bagi semua pelaku.
Analisis akan kita lakukan berdasarkan pengelompokkan masalah di atas. Dimulai dari yang aspek pasar, salah satu persoalan pokok dari pengembangan produk hortikultura di Indonesia adalah besarnya variasi harga antar waktu, dan itu sangat erat terkait dengan persoalan pasokan dan permintaan produk. Pada umumnya petani hortikultura memutuskan jenis tanaman yang diusahakan berdasarkan situasi harga pada saat keputusan itu dibuat. Hal ini sangat kentara untuk komoditi nenas, fluktuasi harganya luar biasa besarnya dan ini sering menjebak petani.
Dengan demikian upaya sederhana dapat dilakukan dalam membantu petani adalah pemerintah bisa membantu dengan memetakan harga produk hortikultura secara series dalam beberapa kurun waktu. Data series mengenai fluktuasi harga tersebut bisa dijadikan pedoman untuk melihat kecederungan pergerakan harga produk hortikultura secara spesifik sehingga diperoleh pola fluktuasi harga untuk masing masing produk hortikultura. Informasi ini juga akan berguna untuk pengambilan keputusan dan perencanaan mengenai pilihan jenis dan luasan dari produk hortikultura yang akan dikembangkan pada waktu tertentu. Prasyarat untuk hal ini adalah akurasi data harga yang dicatat, untuk itu perlu ada suatu mekanisme yang memungkinkan tercatatnya semua pergerakan harga antar waktu. Akan lebih baik data satu lokasi dibandingkan dengan lokasi lainnya, sehingga dapat dilihat perilaku harga untuk skala yang lebih luas.
Selain hal di atas, diversifikasi usaha yang dikembangkan petani perlu lebih diarahkan pada upaya memperkecil resiko terkait dengan persoalan harga ini. Untuk itu pilihan komoditi yang diusahakan dapat dilakukan didasarkan pada perhitungan dan perilaku harga yang ada.
Aspek penting selanjutnya adalah masalah kelembagaan petani. Pada petani sayuran, dengan tingginya fluktuasi harga, sebenarnya ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk berkelompok, namun hal ini belum tergarap dengan baik. Asosiasi petani berdasarkan komoditi misalnya harusnya bergerak pada masalah ini. Persoalan pokoknya ada pada trust (kepercayaan), pengalaman selama ini sangat sulit membangun kebersamaan karena kurangnya rasa saling percaya diantara petani dan ini merupakan akumulasi pengalaman sebelumnya dengan berbagai upaya sejenis. Pemerintah dengan berbagai upaya pemberdayaannya justru memperlemah posisi petani, karena kelompok bentukan proyek hanya didasarkan kebutuhan proyek dan kurang dipersiapkan dengan baik, dan setiap proyek cenderung membuat kelompok baru, dan ini membuat kepercayaan masyarakat terhadap kegiatan kelompok menjadi rendah.
Informasi Harga, satu isu yang selalu melekat dengan produk pertanian adalah masalah informasi yang asimetris. Informasi yang asimetris adalah ketidak seimbangan dalam penguasaan informasi dalam rantai pelaku dalam pasar. Ketidakseimbangan penguasaan informasi antar pelaku usaha pertanian terjadi mulai dari kegiatan produksi sampai dengan pelaku pemasaran akhir. Dalam banyak kasus informasi harga di tingkat konsumen tidak ditransmisikan secara cepat pada semua pelaku usaha, sehingga selalu ada yang dirugikan, dan yang terbanyak dirugikan adalah petani pelaku usaha.
Informasi harga yang berlaku dalam rantai pasokan produk hortikultura bersifat asimetris, dimana penurunan harga di tingkat konsumen sangat cepat diinformasikan kepada petani, namun sebaliknya jika terjadi kenaikan harga akan sangat lambat diinformasikan. Diperlukan suatu mekanisme untuk membangun suatu sistem informasi harga yang memungkinkan semua pelaku usaha mendapatkan informasi secara proporsional.
Adanya informasi harga yang lebih transparan akan membuka peluang semua pelaku usaha mendapatkan penghargaan/margin keuntungan sesuai dengan pengorbanan yang diberikannya. Upaya memperpendek rantai tataniaga yang ada harusnya dilihat dalam kerangka bahwa yang penting adalah bukan sekedar memotong rantai namun bagaimana mendistribusikan keuntungan sesuai dengan pengorbanan pelaku.
Selama ini ada salah kaprah bahwa seakan akan pedagang perantara atau pengumpul hanya dilihat dari sisi negatifnya saja namun kurang dipahami peran mereka secara mendalam. Dalam beberapa kasus pedagang pengumpul justru memiliki resiko dan pengorbanan lebih besar terutama dalam aspek distribusi produk menuju wilayah lain. Namun dalam kasus lain para pedagang pengumpul justru punya peranan besar dalam memberikan kepastian bagi petani untuk membeli produk petani.
Dalam situasi rantai pasokan seperti yang diuraikan diatas maka peran pemerintah menjadi sangat penting untuk mendorong agar rantai pasokan berlangsung secara efisien sehingga pelaku pasar dapat secara proporsional mendapatkan keuntungan sesuai dengan pengorbanan yang diberikan.
Rantai pasokan bukan hanya alur produk dan dana semata, namun juga mencakup alur informasi, layanan dan kegiatan. Kesenjangan dalam peran pelaku, penguasaan informasi dan ketidakseimbangan layanan merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan harga dan keuntungan diantara pelaku dalam rantai pasokan. Ketika petani telah teridentifikasi sebagai pihak yang paling lemah dalam rantai pasokan maka penguatan kelembagaan petani merupakan tugas dari pemerintah.
Berdasarkan hasil temuan penelitian bahwa kebijakan pemerintah masih bertumpu pada aspek produksi, namun masih kurang dalam aspek kelembagaan dan pemasaran. Dalam aspek kelembagaan, perlu penguatan peran asosiasi dan kelompok tani agar mampu mandiri dan tidak tergantung pada proyek pemerintah. Dalam hal pasar, perlu peranan pemerintah dalam penyediaan informasi harga pasar bagi petani sehingga bisa mengurangi resiko petani dalam kejatuhan harga akibat permainan harga.
Seperti dikatakan pada halaman sebelumnya, bahwa dalam keunggulan komparatif suatu perdagangan intenasional adalah berkaitan dengan kemampuan komoditas/produk barang yang memiliki daya saing yang tinggi. Dimana daya saing merupakan kemampuan suatu komoditi untuk memasuki pasar luar negeri dan kemampuan untuk dapat bertahan dalam pasar tersebut. Pengertian dayasaing juga mengacu pada kemampuan suatu negara untuk memasarkan produk yang dihasilkan negara relatif terhadap kemampuan negara lain (Porter, 1980).
Pengertian dayasaing dapat diterjemahkan dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran. Dari sisi permintaan, kemampuan bersaing mengandung arti bahwa produk yang dijual harus sesuai dengan atribut yang dituntut konsumen atau produk yang dipersepsikan bernilai tinggi oleh konsumen. Dari sisi penawaran, kemampuan bersaing berkaitan dengan kemampuan merespon perubahan atribut-atribut produk yang dituntut oleh konsumen secara efisien.
Dikatakan oleh Saragih (1994) kemampuan bersaing suatu system agribisnis ditunjukan oleh kemampuan dalam memproduksi dan memasarkan produk yang sesuai dengan dengan kebutuhan konsumen. Dengan kata lain, system agribisnis yang berdaya saing tinggi adalah system agribisnis yang mampu merespon dinamika pasar secara efektif dan efisien. Efektif dalam pengertian bahwa respon yang diberikan oleh system agribisnis sesuai dengan dinamika kebutuhan (volume, tempat, dan waktu) dan preferensi konsumen, sedangkan efisien memiliki makna bahwa system agribisnis mampu memasarkan produk dengan harga lebih murah untuk kualitas produk yang sama.
Dalam rangka meningkatkan daya saing tersebut, maka pembangunan kaitan fungsional atau kaitan vertical antar kegiatan agribisnis merupakan bagian yang paling penting. Hal ini terjadi disebabkan adanya peningkatan volume permintaan, maka system agribisnis belum tentu dapat merespon dengan baik jika pelaku kegiatan pengadaan saran produksi tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik, yaitu menyalurkan volume sarana produksi yang dibutuhkan petani. Begitupula system agribisnis tidak akan mampu merespon perubahan kualitas produk yang diinginkan konsumen jika informasi pasar tersebut tidak disampaikan oleh pedagang kepada petani atau lembaga sarana produksi tidak mampu menyediakan jenis sarana produksi tertentu yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk dengan yang dibutuhkan konsumen. Ringkasnya, dari segi teknis, system agribisnis yang berdaya saing adalah system agribisnis yang mampu melakukan seluruh rangkaian kegiatan yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk yang dibutuhkan konsumen dengan biaya murah.


III. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
3.1. Kondisi Komoditas Nanas Indonesia
Nanas merupakan salah satu produk unggulan ekspor diantara komoditas buah-buahan, komoditas nenas memiliki nilai dan volume yang cenderung tertinggi pada periode 2003 – 2009. Indonesia merupakan produsen nenas terbesar kelima setelah Brazil, Thailand, Filipina dan Cina. Namun peran ekspor nanas Indonesia adalah no ke-19. Rendahnya ekspor tersebut berkaitan dengan muta produk yang belum memenuhi standar pasar dunia.
Kurang kompetitifnya komoditas nenas Indonesia di pasar internasional diduga disebabkan oleh sistem produksi di lokasi yang terpencar, skala usaha sempit dan belum efisien, serta jumlah produksi terbatas. Selain itu dukungan kebijakan perbankan, perdagangan, ekspor dan impor belum berpihak kepada pelaku agribisnis hortikultura dalam negeri.
Adapun Jepang dan Kuwait merupakan dua Negara pengimpor nenas Indonesia dengan total nilai perdagangan pada tahun 2007 dapat dilihat pada tabel 2. Selain itu juga, masih berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Hortikultura diketahui untuk komoditas buas-buahan, nenas mampu memberikan kontribusi sebesar 20 persen dari keseluruhan total ekspor buah-buahan tropis di Indonesia setelah pisang, dan 70 persen dikonsumsi dalam bentuk nanas segar di Negara produsen.



Tabel 2: Nilai Ekspor Buah-Buahan Tropis Berdasarkan Negara Tujuan (ribu USD)
PISANG 1.503.457,00 528.114,00
Iran,islamic Rep. Of Segar 985.270,00 341.055,00
United Arab Emirates Segar 167.310,00 55.986,00
NANAS 106.800,00 101.793,00
Japan Segar 91.800,00 95.193,00
Kuwait Segar 15.000,00 6.600,00
ALPOKAT 2.567,00 3.242,00
Malaysia Segar 1.042,00 321,00
Brunei Darussalam Segar 1.525,00 2.921,00
JAMBU BIJI 18.078,00 9.177,00
Japan Segar 5.355,00 2.677,00
China Segar 11.045,00 5.521,00
MANGGA 8.317,00 9.759,00
Singapore Segar 3.186,00 3.227,00
United States Segar 507,00 1.582,00
MANGGIS 7.411.418,00 3.805.437,00
Hong Kong Segar 2.789.492,00 1.479.271,00
China Segar 3.173.773,00 1.676.864,00
JERUK 157.367,00 68.911,00
China Segar 48.988,00 17.990,00
Singapore Segar 26.771,00 20.285,00
ANGGUR 32.023,00 41.120,00
Singapore Olahan 32.023,00 41.120,00
MELON 27.362,00 29.158,00
Japan Segar 23.922,00 26.409,00
Singapore Segar 2.940,00 2.477,00
PEPAYA 33.569,00 13.620,00
Japan Segar 923,00 743,00
Hong Kong Segar 32.440,00 12.490,00
APEL 17.934,00 14.766,00
Japan Segar 17.934,00 14.766,00
PIR DAN KWINI 43.952,00 12.983,00
Singapore Segar 8.913,00 6.750,00
Malaysia Segar 30.000,00 2.100,00
CERI 19.441,00 4.870,00
Singapore Segar 1,00 10,00
Saudi Arabia Segar 19.440,00 4.860,00
STRAWBERI SEGAR 44.225,00 21.967,00
Malaysia Segar 38.802,00 6.461,00
Brunei Darussalam Segar 5.388,00 15.383,00
Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Perdagangan, 2008
Sedangkan produksi nanas itu sendiri berdasarkan wilayah dan volume produksi yang dihasilkan berdasarkan data tahun 2006 dapat dilihatpada gambar 1 sebagai berikut:
Gambar: Peta Produksi Nenas Berdasarkan Volume Produksi Tahun 2006 (ton)

Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Perdagangan, 2006
Diketahui bahwa beberapa spec standar yang diterapkan untuk produk nenas ekspor adalah :
1. Berat: 1.3 – 2 kg / pcs
2. Kematangan: 70% dengan 2-3 mata kuning
3. Bentuk: bulat dengan diameter minimal 10 cm
• Varietas nenas yang sudah dibudidayakan dan diekspor adalah varietas Smooth Chayenne
• Permintaan akan nenas dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pada saat tidak dapat memenuhi permintaan disebabkan tidak ada lagi lahan yang diperuntukkan memenuhi pasar ekspor
Selain itu juga diketahui bahwa berdasarakan Permendag RI No: 24/M-DAG/PER/6/2008 tentang Penentuan Ekspor Pisang dan Nanas ke Jepang dalam rangka EPA (Indonesia Japan-Economic Partnership Agreement) kuota nanas sebanyak 1000 metrik ton selama periode 2008 – 2012. Kesempatan ini masih belum dimanfaatkan sampai saat ini karena sulitnya persyaratan yang harus dipenuhi Indonesia terutama dari aspek phytosanitarynya.
Salah satu syarat dari phytosanitary yang ditentukan oleh berbagai Negara (pada umumnya Negara-negara maju) tersebut itulah yang merupakan salah satu hambatan dari upaya peningkatan volume transaksi ekspor komoditas nanas Indonesia itulah yang masih merupakan suatu kendala. Sehigga perlu dilakukan suatu terobosan baik ditingkat kebijakan perusahaan/elsportir/produsen, maupun ditingkat kebijakan pemerintah. Karena dengan upaya-upaya pengembangan pengelolaan produk tersebut itu jugalah maka potensi ekspor nanas local dapat terus ditingkatkan, dan ini memerlukan kerjasama dan koordinasi yang baik dari berbagi pihak yang terlibat.
3.2. Rantai Pasok Produksi Komoditas Nanas Indonesia.
Dari aspek kemampuan produksi, secara umum untuk komoditas nanas belum optimal, selain masalah optimalitas produksi hasil komoditas yang berkaitan dengan masalah lahan, pembibitan, pola tanam dan budidaya; masalah pasca panen dan produksi seperti jaminan kualitas, penerimaan barang, penyimpanan, sampai dengan proses pemasran dan distribusi termasuk dalam hal ini adalah proses pembayaran transaksi yang pada akhirnya akan menghambat jangka waktu/rentan waktu proses pemindahan produk dari produsen ke konsumen. Kesemua unsur tersebut jika dimasukan dalam suatu strategi produksi adalah bagian-bagian dari rantai pasok produksi yang mana oleh Siagian (2005) dikatakan sebagai hubungan interaksi supplier-customer yang saling besinergi dan terkait. Tentu saja upaya peningkatan kualitas tersebut harus dilakukan secara`berkala, berkelanjutan, dan terstruktur.
Pada gambar 2 dapat dilihat bagaimana unsur-unsur dalam kegiatan rantai pasok untuk komoditas nanas ini bisa dilakukan dalam rangka pencapaian optimalitas hubungan antara supplier dan customer tersebut sehingga mampu membentuk suatu kepuasan terhadap pelanggan yang bermuara pada peningkatan produksi dan transaksi perdagangan nanas itu sendiri.

Gambar 2: Interaksi Antar Pihak Yang Terkait Dalam Proses Produksi

Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian, 2010
Dikatakan bahwa pada produk hortikultura, salah satu rangkaian yang patut diperhitungkan adalah masalah rantai pasok dari produk itu sendiri. Hal ini merupakan catatan penting bagi pelaku pasar terutama bagi pihak produsen itu sendiri. Dimana rantai pasok itu sendiri akan menentukan bagaimana proses transformasi dari model perilaku ekonomi yang berbasis tradisional akan mengarah pada proses produksi sekaligus pada perilaku ekonomi yang lebih modern sehingga rentang waktu dan hambatan jarak tempuh proses pemindahan produk dari produsen ke konsumen akan lebih efisien dan efektif. Selain itu juga potensi kerugian akibat kerusakan dan kegagalan yang pada umumnya kerap terjadi terutama pada proses pasca panen/prosuksi dapat diminimalisir. Begitupula dengan permasalahan seperti kualitas dan nilai estetika produk yang dapat mempengaruhi banyaknya permintaan dan harga produk itu sendiri dapat lebih terjamin. Pada gambar 3 akan diilustrasikan bagaimana kegiatan rantai pasok untuk komoditi nenas mampu memberikan jaminan harga dan permintaan berdasarkan unsur-unsur produksi yang saling terkait baik selama proses pra-panen sampai pasca-panen berlangsung.


Gambar 3: Proses Rangkaian Rantai Pasok Komoditas Nenas Lokal

Dari gambar dapat dijelaskan berbagai pihak mulai dari petani (baik plasma maupun non plasma) masing-masing berinteraksi dan berkoordinasi dengan berbagai pihak, sehingga komoditi yang akan dijual bisa sampai pada tujuan sesuai dengan tepat waktu, harga, jumlah, dan kualitas yang diinginkan. Dan tentu saja hal ini menyangkut pada tingkat kepuasan pelanggan dalam mengkonsumsi produk yang diinginkan termasuk juga dalam hal ini kepuasan bagi seorang produsen dalam menghasilkan keuntungan yang diinginkan.

IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Dalam upaya meningkakan daya saing produk unggulan hortikultura dalam hal ini adalah komoditi nanas, beberapa catatan yang patut diperhitungkan dan dikembangkan adalah bagaimana komoditi tersebut mampu dan memiliki kapasitas untuk bersaing dipasar baik itu di pasar domestic maupun pasar luar negeri. Pengembangan produk unggulan tersebut harus dilaksanakan melalui serangkaian proses yang terkait dan sistematis mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran (Kartasasmita, 1996).
???? (kehabisan ide)…..
DAFTAR PUSTAKA

Besterfield, D. H., 2003, Total Quality Management, 3rd edition, Pearson Education, Inc.
Curry, F.E. 2001. Memahami Ekonomi Internasioanal. World Trade Press, Jakarta.
Heizer and Render, 2004, Operations Management, Fifth Edition, International Edition, Prentice Hall, Internasional, Inc
Indonesia Policy Briefs,. 2010,. Memulihkan Daya Saing,. World Bank Report
Kartasasmita. Ginanjar. 1996. Membangun Pertanian Abad-21: Menuju Pertanian yang Berkebudayaan Industri. Majalah Triwulananan Perencanaan Pembangunan No. 06 September/Oktober 1996. Jakarta
Kindleberger, C.P. dan D.H. lindert. 1982. Internacional Economics. Richard D. Irwin Inc, Massachusetts
Krugman, P.R. dan M. Obstfeld.2000, Internacional Economics: Theory and Policy. Fifth Edition. Addison-Wesley Publishing Company, New York
Porter, E.M. 1980. Competitiveness Strategy. Techniques for Analysisng Industries and Competitors. The Free Press. New York
Salvatore. 2004. International Economics
Saptana; Sumaryanto; Siregar M; Maryowani H; Sodikin I; dan Friyanto S. 2001. Analisis Keunggulan Komparatif Komoditas Unggulan Hortikultura. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor
Saragih, B. 1994. Agribisnis Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Kumpulan Pemikiran. Yayasan Mulia Persada Indonesia-PT. Surveyor Indonesia-Pusat Studi Pembangunan IPB. Jakarta
Siagian Y.M., 2005, Aplikasi Supply Chain Management Dalam Dunia Bisnis, Gramedia, Jakarta
Sudaryanto, T.dan P.U. hadi.2000. Dampak liberaliasasi Perdagangan pada Komoditas Agribisnis Indonesia. Makalah disampaikan pada Agro Expo, Jakarta
World Economic Forum. 2008. The Global Competitiveness Report
Zabidi, Yasrin, 2001, Supply-Chain Management: Teknik Terbaru dalam Mengelola Aliran Material/Produk dan Informasi dalam Memenangkan Persaingan, Jurnal “Usahawan” No.2 Th XXX

DAMPAK ASURANSI PERTANIAN TERHADAP USAHA PENINGKATAN PRODUKSI PERTANIAN

DAMPAK ASURANSI PERTANIAN TERHADAP USAHA PENINGKATAN PRODUKSI PERTANIAN

Faurani Santi Singagerda

I. Pendahuluan
Pertanian, adalah suatu sektor yang sangat rentan terhadap berbagai resiko, dimana dalam berbagai kegiatan pertanian selalu melibatkan perubahan iklim, cuaca, dan ketergantungan lingkungan sekitarnya. Selain itu juga sebagai salah satu bentuk aktivitas produksi manusia, pertanian juga merupakan suatu bentuk investasi jangka panjang dari petani untuk menghasilkan suatu produk (dalam hal ini produk pertanian) yang diharapkan dapat memperoleh hasil yang seperti diinginkan bahkan mengharapkan suatu keuntungan dari kegiatan tersebut. Sehingga dalam hal ini kendala modal, aksesibilitas, dan penguasaan teknologi selalu mengalami kendala termasuk dalam mengahdapi berbagai resiko Selain itu juga sebagai bentuk kegiatan investasi produksi yang menghasilkan suatu produk (baik itu produk mentah, setengah jadi, maupun produk jadi), dan pada akhirnya hasil-hasil produk tersebut membentuk suatu harga yang mana harga tersebut tercipta dari transaksi dan mekanisme transaksi di pasar. Baik itu pasar tradisional dan domestic maupun pasar internasional (untuk beberapa komoditas pertanian ataupun produk-produk turunannya). Dan kondisi seperti ini, tidaklah terlepas dari potensi resiko yang akan dihadapi. Sehingga memunculkan ketergantungan dan ketidakpastian (uncertainty) akan harga pasar dunia terhadap beberapa komoditi pertanian, dan perkebunan seperti : CPO, karet, kopi, tembakau, dan lain-lain. Dimana dalam mekanisme pasar, data dan informasi merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menjalankan mekanisme/transaksi di pasar. Seringkali informasi dan data yang tersedia (misalnya data dan informasi mengenai produk seperti kualitas, kuantitas) tidak memadai bahkan tidak tersedia. Hal ini disebabkan karena adanya asimetrik informasi terhadap beberapa komoditi .
Di Indonesia sendiri, pertanian secara umum merupakan pertanian konvensional yang hampir sebagian besar masih memiliki pola tanam tradisional sehingga sangat mengandalkan keadaan alam, cuaca, iklim dan letak geografis. Ketidakseimbangan antara jumlah permintaan suatu komoditas pertanian dengan ketersediaan komoditas yang menganggu eksistensi produksi pertanian dalam jangka panjang, sehingga mempengaruhi eskistensi kebijakan ketahan pangan nasional. Adapun beberapa efek samping pendekatan dan penerapan pertanian konvensional yang sering mengalami permasalahan sehingga berpotensi resiko antara lain meningkatnya erosi permukaan, banjir dan tanah longsor ; menurunnya kesuburan tanah; potensi kehilangan bahan organik tanah, salinasi air tanah dan irigasi serta sedimentasi tanah; meningkatnya pencemaran air dan tanah akibat pupuk kimia, pestisida, limbah domestik residu pestisida dan bahan-bahan berbahaya lain di lingkungan dan makanan yang mengancam kesehatan masyarakat dan penolakan pasar; merosotnya keanekaragaman hayati pertanian; hilangnya kearifan tradisional dan budaya tanaman local; kontribusi dalam pemanasan global; meningkatnya pengangguran; menurunnya lapangan kerja; meningkatnya kesenjangan sosial dan jumlah petani gurem di pedesaan; dan menimbulkan ketergantungan petani pada pemerintah dan perusahaan / industri agrokimia.
Dengan kata lain potensi-potensi resiko seperti: resiko harga (price Risk), resiko produksi (Production Risk), resiko personal (human/personal risk), resiko asset/kekayaan (Asset Risk), resiko lembaga (Institutional Risk), dan resiko keuangan (financial risk); merupaka berbagai resiko yang kerap kali mengancam eksistensi dan sustainability dari pengembangan sector pertanian sebagai salah satu pilar pembangunan ekonomi nasional sekaligus sector yang sangat mendukung pembangunan manusia secara keseluruhan. Disamping itu juga, tidak dapat diragukan lagi perannya dalam usaha/kegiatan inti dari keberhasilan program ketahanan pangan nasional (JRC Scientific and Technical Report Agricultural Insurance Scheme, 2008). Bahkan negara-negara maju sekalipun, sektor pertanian masih merupakan sektor andalan sekaligus sebagai faktor penyumbang terbesar dari keberhasilan pembangunan nasional.

II. Tinjauan Teori
2.1. Pengertian Resiko
Resiko adalah Suatu unsur yang terdiri dari ketidaksiapan (namun dapat dikelola/di manage) terhadap segi produksi dan marketing dalam sektor pertanian (jika dilihat dari konteks sektor pertanian). Jika kita bicara mengenai resiko tidaklah terlepas dari masalah ketidakpastian (uncertainty) yang mana , ketidakpastian dapat diartikan sebagai potensi permasalahn yang akan muncul dikemudian hari terutama yang berkaitan dengan pendapatan yang dapat berpengaruh dalam prodes produksi jangka pendek dan perencanaan jangka panjang. Jika kita hubungkan dengan masalah pertanian, pengaruh tersebut menimbulkan turunnya hasil produksi, sehingga menurunnya nilai asset baik tetap mau aset bergerak, dan mempengaruhi keputusan petani untuk tetap bekerja atau tidak. Begitu juga pada saat terjadinya ketidakstabilan situasi khususnya yang berkaitan dengan masalah kondisi iklim, cuaca, dan lingkungan sekitar yang secara signifikan dapat mempengaruhi perkembangan produksi pertanian, dimana dalam keadaan tersebut dibutuhkan alat yang efektif utk mengelola potensi resiko terutama apabila perubahan tersebut menimbulkan guncangan terhadap seluruh sektor pembangunan, contoh: guncangan dari sektor riil ekonomi akan mempengaruhi kemampuan petani dalam mengembalikan tingkat dan kemampuan pinjaman dan kewajiban keuangan kepada pihak lembaga keuangan (creditor) , selain itu lembaga keuangan juga dihadapkan pada keputusan untuk mengurangi ekspansi kredit akibat begitu besarnya probabilitas kegagalan debitor (penerima fasilitas kredit) dalam membayar kewajibannya.
2.2. Macam-macam resiko pertanian
Adapun resiko yang kerap kali dihadapi oleh sector pertanian dalam hal ini adalah dapat dilihat pada table 1 sbegai berikut:
Resiko Pertanian
Iklim Dingin, banjir, kemarau, salju, angin,dll
Sanitari Penyakit menular, kebersihan Terkontrol
Tdk terkontrol
Geografi Gempa, gunung meletus, erosi
Market Perubahan harga di dalam negeri, dan Luar
negeri, perubahan dalam kriteria standard kualitas
Man made Perang, krisis keuangan, tutupnya suatu institusi terkontrol
Tdk terkontrol
Dari tabel diatas dijelaskan bahwa ada lima faktor penyebab resiko yang paling sering muncul yaitu faktor iklim dan cuaca , sanitari/kebersihan yang berdampak pada hasil-hasil pertanian terutama hasil/produk-produk jadi, faktor geografi/letak dan struktur wilayah, faktor market/pasar (berkaitan dengan transaksi perdagangan internasional, dan faktor manusia. Dimana, ke-lima faktor tersebut ada yang bisa dikontrol dan ada yang tidak bisa dikontrol dalam pengertian menyikapi dan menghadapi resiko dan pitensi resiko yang terjadi. Meskipun demikian resiko yang terjadi akan menjadi dampak yang sangat berpengaruh bagi perkembangan sector pertanian itu sendiri baik secara kuantitas maupun kualitas.


2.3. Strategi Menghadapi resiko dan Ketidakpastian Dalam Sektor Pertanian
Pertanian merupakan salah satu usaha yang rawan terhadap dampak negatif perubahan iklim, seperti banjir dan kekeringan yang dapat menyebabkan gagal panen. Jika tidak diantisipasi dengan tepat, hal ini berpotensi melemahkan motivasi petani untuk mengembangkan usaha tani, bahkan dapat mengancaman ketahanan pangan.
Kemampuan petani beradaptasi terhadap perubahan iklim terkendala oleh modal, penguasaan teknologi, dan akses pasar. Pendekatan konvensional dengan menerapkan salah satu atau kombinasi strategi produksi, pemasaran, finansial, dan pemanfaatan kredit informal diperkirakan kurang efektif. Oleh karena itu diperlukan sistem proteksi melalui pengembangan asuransi pertanian terutama untuk padi.
Secara tradisional, petani telah mengembangkan pendekatan praktis untuk mengatasi risiko, baik secara individual maupun berkelompok. Menyimpan sebagian hasil panen padi dalam lumbung, menanam umbi-umbian di pekarangan atau ladang, dan memelihara ternak adalah cara-cara praktis yang lazim ditempuh untuk mengatasi risiko usaha tani. Hal seperti ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain seperti India, Tanzania, dan El Salvador. Dalam menghadapi risiko, petani menerapkan strategi yang berbeda-beda. Umumnya, mereka menerapkan satu atau kombinasi dari beberapa strategi berikut:
1 . Strategi produksi, mencakup diversifikasi atau memilih usaha tani yang pembiayaan dan atau pengelolaan produksinya fleksibel. Petani Indonesia umumnya menerapkan strategi diversifikasi usaha tani.
2 . Strategi pemasaran, misalnya menjual hasil panen secara berangsur, memanfaatkan system kontrak untuk penjualan produk yang akan dihasilkan, dan melakukan perjanjian harga antara petani dan pembeli untuk hasil
panen yang akan datang. Upaya yang banyak dilakukan petani Indonesia adalah dengan cara menjual hasil panen secara berangsur.
3 . Strategi finansial, mencakup melakukan pencadangan dana yang cukup, melakukan investasi pada kegiatan berdaya hasil tinggi, dan membuat proyeksi arus tunai berdasarkan perkiraan biaya produksi, harga jual produk, dan produksi. Di Indonesia strategi ini belum populer.
4 . Pemanfaatan kredit informal, seperti meminjam uang atau barang kebutuhan pokok dari pedagang atau pemilik modal perorangan. Strategi ini banyak diterapkan petani kecil di Indonesia.
5 . Menjadi peserta asuransi pertanian untuk menutup kerugian yang diperkirakan akan terjadi.Strategi ini banyak ditempuh oleh petani di negara maju dan sebagian petani di negara berkembang. Di Indonesia, asuransi pertanian formal belum berkemkan. Meskipun beberapa strategi tersebut telah diterapkan oleh sebagian petani, mereka masih sulit mengatasi risiko berusaha tani.
Oleh karena itu diperlukan strategi lain yang sistematis, misalnya melalui asuransi pertanian, suatu lembaga ekonomi yang berfungsi untuk mengelola risiko yang dihadapi petani. Tujuannya adalah: (1) menstabilkan pendapatan petani dengan mengurangi kerugian karena kehilangan hasil; (2) merangsang petani mengadopsi teknologi yang dapat meningkatkan produksi dan efisiensi penggunaan sumber daya; dan (3) mengurangi risiko yang dihadapi lembaga perkreditan pertanian dan meningkatkan akses petani ke lembaga tersebut.
Berdasarkan hasil laporan JRC Scientific and Technical Report kepada European Union Commision tahun 2008, adapun strategi modern yang bisa diusulkan dalam menghadapi potensi resiko dan ketidakpastian dari sector pertanian antara lain: (1) strategi pada bidang usaha on-farm yaitu dengan cara melakukan seleksi terhadap produk-produk pertanian yang memiliki tingkat resiko rendah dan tinggi (mengakategorikan produk-produk berdasarkan tingkat resiko yang mungkin terjadi), menyeleksi produk yang memiliki siklus pendek sehingga dengan seleksi tersebut dapat diidentifikasi potensi yang dapat terjadi berikut penangannya, melakukan diversifikasi produk (dimana dengan diversifikasi produk tersebut petani bisa mengalihkan kegiatan proses produksi kepada produk-produk pertanian yang rentan akan potensi resiko ke produk-produk substitusi yang lebih tahan/kuat menhadapi resiko), melakukan konsolidasi terhadap perencanaan keuangan dengan melakukan pengelolaan dan pengamana investasi untuk menjaga likuiditas keuangan.(2) Strategi risk-sharing, melalui perjanjian kontrak-kontrak penjualan, kontrak produksi (dengan menggunakan transaksi hedging/transaksi periode, future market dalam pasar komoditi internasional untuk beberapa macam komoditi tertentu yang diperdagangkan dalam bursa komoditi, maupun penyertaan dalam pendanaan cadangan dan asuransi, dan (3) strategi alternatif seperti: bantuan hibah, dan peningkatan share pendapatan diluar sector pertanian (tetapi yang berkaitan dengan pertanian, misalnya industri makanan dan lain-lain).
Sedangkan dalam menghadapi kegagalan panen akibat perubahan iklim dan cuaca (yang merupakan faktor yang paling sering terjadi dan rentan dalam sector pertanian) adalah melalui:
1. Strategi produksi, mencakup diversifikasi atau memilih usaha tani yang pembiayaan dan atau pengelolaan produksinya fleksibel.
2. Strategi pemasaran, misalnya menjual hasil panen secara berangsur, memanfaatkan sistem kontrak untuk penjualan produk yang dihasilkan, dan melakukan perjanjian harga antara petani dan pembeli untuk hasil panen yang akan datang.
3. Strategi finansial, mencakup melakukan pencadangan dana yang cukup, melakukan investasi pada kegiatan berdaya hasil tinggi, dan membuat proyeksi arus tunai berdasarkan perkiraan biaya produksi, harga jual produk, dan produksi.
4. Pemanfaatan kredit informal, seperti meminjam uang atau barang kebutuhan pokok dari pedagang atau pemilik modal perorangan.
5. Menjadi peserta asuransi pertanian untuk menutup kerugian yang diperkirakan akan terjadi. Strategi ini banyak ditempuh oleh petani di negara maju dan sebagian petani di negara berkembang
Dari beberapa hal diatas dapat disimpulkan bahwa dalam sektor pertanian, salah satu strategi yang cukup layak dan patut diperhitungkan oleh pengambil keputusan (dalam hal ini adalah pemerintah) yaitu mengembangkan suatu jenis program perlindungan resiko melalui program asuransi nasional yang bersifat formal terutama untuk usahatani dan komoditas utama sebagai suatu sistem proteksi usaha pertanian yang dinilai memenuhi persyaratan sebagai andalan perekonomian nasional karena mampu memacu perekonomian nasional, dengan tujuan mengentaskan kemiskinan, meningkatkan pendapatan per kapita dan menurunkan harga makanan.

2.4. Asuransi
Dalam bahasa hukum dan ekonomi, asuransi dapat diartikan sebagai bentuk dari pengelolaan resiko yang secara prinsipnya digunakan untuk menghindar dari berbagai resiko kerugian, maupun kehilangan. Asuransi juga dapat berarti sebagai bentuk transfer dari resiko kehilangan dari suatu entitas ke entitas tang lain melalui system pembayaran penanggulangan resiko. Bahkan oleh menurut Joel C Lagan (2004) dari Commercial Insurance Agent, dikatakan bahwa asuransi merupakan jenis pembayaran sejumlah uang yang dihitung berdasarkan premi yang harus dibayar atas potensi resiko yang akan terjadi. Dalam hal transfer pembayaran terhadap penjaminan resiko tersebut, tentu saja akan melibatkan perusahan asuransi yang menjual produk asuransi, selain itu juga peserta asuransi yang dalam hal ini adalah pihak-pihak yang akan memperoleh manfaat asuransi tersebut, dimana mereka akan terikat dalam suatu kontrak dengan perusahaan asuransi yang menyediakan produk asuransi sesuai dengan kebutuhan peserta. Sedangkan nilai asuransi yang dijamin adalah sebesar tingkat resiko yang dimiliki oleh si peserta dan besarnya jumlah yang harus dibayar oleh setiap peserta tentu saja akan menjelaskan sejauhmana tingkat resiko yang akan diasuransikan/dijamin (disebut dengan premi). Dalam manajemen resiko, dalam aplikasi pelaksanaannya sebelum perusahaan asuransi menentukan berapa besar tingkat resiko yang dimiliki oleh peserta dan berapa besar remi yang harus dibayar oleh peserta, tentu saja dibutuhkan suatu proses uji kelayakan dan pengawasan dari pihak perusahaan yang harus melakukan studi di lapangan dan memiliki kompetensi khusus dalam mengestimasi tingkat resiko trtentu yang dimiliki oleh peserta.
Transaksi asuransi melibatkan perhitungan jaminan dan bentuk pembayaran yang ditujukan untuk peserta asuransi yang nantinya akan ditukar dalam bentuk penjaminan untuk memberikan kompensasi kerugian yang apabila peserta mengalami kerugian ataupun kehilangan (disebut dengan indemnity atau pertanggungan), nantinya peserta akan menerima sebuah kontrak perjanjian dengan pihak perusahaan asuransi yang disebut dengan polis asuransi yang mana dalam polis tersebut berisi secara lengkap mengenai kondisi dan gambaran keadaan yang akan diterima oleh peserta berikut aturan-aturan dan prasarat-prasaratnya.
2.5. Macam-Macam Asuransi
Perusahaan asuransi terdiri dari beberapa macam yaitu: a) asuransi kendaraan , b) asuransi perumahan, c) asuransi kesehatan, d) asuransi kecelakaan, e) asuransi jaminan hari tua, f) asuransi kekayaan (missal: asuransi kebakaran, asuransi bencana, asuransi pertanian, asuransi banjir, asuransi gempa, surety bond, dan lain-lain), g) liability insurance, h) asuransi kredit, i) asuransi kategori all risks, j) re-asuransi, k) asuransi sosial, l) jaring pengaman, dan m) social security

2.4. Sistem Pembayaran Asuransi (Premi asuransi)
Premi merupakan jumlah yang harus dibayarkan oleh peserta asuransi yyang besarnnya ditetapkan oleh perusahaan asuransi sebagai penyedia produk asuransi berdasrkan jangka waktu tertentu. Jenis pembayaran ini dibuat oleh perusahaan dan ditujukan kepada peserta berasarkan tingkat maturity/umur jangka panjang.
Premi asuransi yang diterapkan pada umumnya akan semakin tinggi apabila resiko yang dimiliki oleh peserta juga semakin tinggi. Pada kasus asuransi kesehatan misalnya, premi yang harus dibayar oleh peserta asuransi yang dikategorikan sebagai golongan perokok tentu saja akan jauh lebih mahal dibandingkan yang bukan dikateorikan senagai non-perokok. Hal ini terjadi karena potensi resiko dari perokok lebih besar dibandingkan yang tidak merokok.

2.5. Asuransi Pertanian
Merupakan jenis produk asuransi yang dikuhusukan untuk menyediakan jasa pertanggungan kerugian dan kehilangan (menghadapi potensi resiko) di sector pertanian dalam hal ini termasuk petani, peternak, pemilik lahan pertanian atau peternakan, dan pihak-pihak lain yang bergerak dan terlibat dalam sector pertanian dalam rangka mengurangi resiko yang seringkali terjadi menjadi masalah dalam sector pertanian (termasuk dalam hal ini resiko cuaca, iklim, kegagalan panen, bencana alam, dan lain-lain) sehingga dengan situasi tersebut maka pelaku sector pertanian akan berpotensi mengalami kerugian bahkan kehilangan yang pada akhirnya berpengaruh pada produktivitas yang ingin dicapai sehingga berpengaruh juga pada pendapatan yang akan diperoleh.
Ada dua jenis asuransi pertanian yaitu: asuransi lahan pertanian, dan asuransi pendapatan pertanian.
1) Asuransi lahan pertanian (Crop-yield insurance), terdiri dari dua jenis yaitu Crop-hail insurance yang umumnya merupakan jenis asuransi yang disediakan oleh pihak asuransi swasta, dimana jenis asuransi ini menyediakan fasilitas pertanggungan kepada peserta asuransi yang mengalami resiko kerusakan bahkan mengaeah pada hilangnya sebagian atau seluruh asset-aset pertanian, yang diakibatkan oleh keadaan dan faktor alam seperti kebanjiran, kekeringan, serangan hama dan serangga, dan penyakit. Jenis asuransi ini merupakan jenis asuransi pertanian dengan system multi peril, dimana resiko yang dialami oleh petani tersebut berpotensi pada hilangnya aset-aset yang dimiliki, sedangkan jika ditingkat kebijakan karena jenis asuransi ini sangat berpotensi menghasilkan kerugian yang secaralangsung juga berdampak secara makro maka sebaiknya kebijakan yang diambil berupa kebijakan tersendiri (single policy) yang disebut dengan Multi peril crop insurance (MPCI). Dimana MPCI dilakukan oleh pemerintah dengan memberlakukan premi pembayaran yang besarannya disubsidi oleh pemerintah, contoh: program MPCI yang dilakukan di Amerika Serikat sejak tahun 1938 yang dikelola oleh Federal Crop Insurance Corporation (FCIC) melalui pengawasan Departemen pertanian Amerika Serikat, dimana pengelolaan manajemen resikonya dilakukan oleh Risk Management Agency dibawah pengawasan dan binaan departemen pertanian Amerika Serikat.
2) Selain itu juga Crop yield insurance juga dapat berupa asuransi pendapatan (Crop-revenue insurance), yang merupakan kombinasi dari crop-yield insurance and price insurance. Sebagai contoh, RMA yang mencanangkan crop-revenue insurance sebagai suatu lembaga penjamin untuk melipatgandakan jaminan kepada petani-petani jagung di Amerika Serikat. Kebijakan pemberian jaminan dilakukan dengan system pembayaran jaminan (indemnity) yang mana merupakan gabungan dari perhitungan keuntungan riil dengan harga indeks yang berlaku di pasar komoditi. Crop revenue insurance ini memberikan pertanggungan kepada peserta asuransi yang mengalami kerugian akibat turunnya harga komoditas sebagai dampak dari perubahan cuaca dan iklim, pembayaran ganti rugi tersebut berupa jaminan harga yang mana harga-harga yang terjadi dalam mekanisme perdagangan internasional sangatlah rentan dengan isu-isu cuaca dan iklim sehingga mempengaruhi permintaan dan penawaran komoditas yang pada akhirnya berpengaruh pada tingkat harga di pasar internasional.
2.6. Minimalisasi resiko
Sadar akan efek samping pertanian konvensional, masyarakat lingkungan global sudah lama menyepakati penerapan dan pengembangan konsep pertanian berkelanjutan sebagai realisasi dari pembangunan berkelanjutan pada sektor pertanian dan pangan melalui Chapter 14 Agenda 21 berjudul Promoting Sustainable Agriculture and Rural Development (SARD) yang merupakan agenda berbagai program aksi pembangunan berkelanjutan yang disepakati oleh para pemimpin dunia di KTT Bumi Rio de Janeiro tahun 1992.
Agenda 21 merinci berbagai konsep dan program aksi pertanian berkelanjutan yang perlu dilaksanakan oleh semua negara. Menurut Agenda 21, konsep pertanian berkelanjutan merupakan konsep yang multi dimensional termasuk didalamnya pencapaian tujuan ekologi, sosial dan ekonomi.
Pertama, penguatan kelayakan dan kehidupan ekonomi di pedesaan merupakan dasar untuk penyediaan cara-cara untuk mempertahankan fungsi sosial dan lingkungan mereka.
Kedua, menjaga kualitas lingkungan juga merupakan prasyarat yang diperlukan bagi pengembangan potensi ekonomi jangka panjang di pedesaan.
Ketiga, integritas ekologi dan nilai lanskap pedesaan yang menjadikan daerah pedesaan sebagai kawasan wisata dan tempat hidup yang tenang dan menyenangkan sehingga dapat menarik investor untuk menanamkan modal.
2.7. Peran asuransi nasional menurut Agenda 21 ini
Adapun peran dari asuransi berkaitan dengan Agenda 21 adalah:
Pertama, dalam kerangka penguatan kelayakan dan kehidupan ekonomi di pedesaan, asuransi umum hendaknya dipromosikan sebagai bentuk baru dari program "solidaritas sosial" yang dimasa lalu terbukti efektif mendongkrak ekonomi rakyat. "Solidaritas sosial" adalah model penguatan kelayakan dan kehidupan ekonomi khas Indonesia, dimana semua stakeholders setuju untuk menyisihkan sedikit dari apa yang dimilikinya untuk kepentingan bersama. Uang yang dikumpulkan sedikit demi sedikit ini merupakan modal awal untuk memulai usaha bersama (dalam hal ini untuk membeli polis asuransi umum)
Kedua, untuk menjaga kualitas lingkungan, maka asuransi umum dapat diajukan sebagai program reduksi Karbon dan biaya lingkungan yang harus dikeluarkan perusahaan pertanian, perkebunan dan kehutanan. Prinsip "mereka yang menggunakan lebih, harus membayar lebih" harus diterapkan secara ketat sesuai dengan adagium "Poluters pay more" - pihak-pihak yang menggunakan bahan-bahan energi tak terbarukan harus membayar premi asuransi umum demi untuk menjaga kualitas lingkungan dan program udara bersih
Ketiga, sebagai penjaga integritas ekologi dan nilai lanskap pedesaan, maka program asuransi umum yang lazim dikenal seperti asuransi banjir, asuransi kebakaran atau asuransi pencurian dan perampokan dll dapat lebih disosialisasikan dengan bahasa yang lebih merakyat
2.8. Asuransi umum dan pemberdayaan petani
Tentang program pemberdayaan petani, Agenda 21 membuat bab khusus yaitu Chapter 32 dengan judul Strengthening the Role of Farmers dimana disebutkan petani melalui berbagai organisasi swadaya petani menuntut agar mereka ikut serta dalam setiap pengambilan keputusan tentang bagaimana tanaman pangan dibudi-dayakan, diolah, diperdagangkan dan bagaimana manfaat yang diperoleh dari sistem pangan dunia, nasional dan lokal dapat dibagikan secara adil. Pemerintah dan pihak-pihak lain termasuk swasta dan perguruan tinggi perlu membantu dan memfasilitasi usaha-usaha untuk mendorong kemandirian petani dan kelompok tani dengan metode pendidikan dan pelatihan petani yang efektif.
Disinilah asuransi umum dapat lebih berperan dalam sistim penjaminan bagi pola terpadu seperti subak di Bali, nagari di Sumatra Barat, atau ngunduh di Jawa dll. Dengan sistim penjaminan bila terjadi gagal panen force majeur, maka asuransi umum dapat lebih berperan dalam upaya peningkatan kualitas hidup petani seperti yang diamanatkan oleh Chapter 32 itu. Sebab sebagai bagian integral dari sistim penjaminan itu, peran asuransi umum menjadi lebih luas dari BPR dan Perum Pegadaian karena asuransi umum juga memfasilitasi usaha-usaha untuk mendorong kemandirian petani dan kelompok tani melalui penyadaran akan hak dan kewajiban para pemegang polisnya.

2.8. Hubungan antara Program Asuransi Nasional dan Ketahanan Pangan
Hujan yang mengguyur seluruh wilayah Indonesia selama ini mengakibatkan bencana dimana-mana. Masih belum sirna bencana banjir dari hadapan mata, La Nina diperkirakan bakal mengancam produksi beras nasional. Masalah utama produksi beras nasional bukan sekedar persoalan basah dan kering, atau banjir dan kekeringan. Lebih dari itu adalah ketahanan pangan bangsa ini. Meski berbagai persoalan melanda produksi beras nasional, namun menurut angka ramalan III Biro Pusat Statistik, produksi GKG (gabah kering giling) tahun 2007 mencapai 57,05 juta ton. Rincian analisis resiko telah dipaparkan oleh Mentan Anton Apriyantono di Harian Kompas tanggal 4 Januari 2008 sehingga prospek asuransi umum dalam bidang pertanian terbuka lebar. Sedangkan Direktur Jenderal Pemasaran Hasil Pertanian, Djoko Said Damarjati menjelaskan, pemerintah saat ini tengah menjalankan gerakan penanganan pasca panen dan pemasaran hasil pertanian. Apabila gerakan itu mampu menghemat potensi kehilangan hasil hingga 2,5 persen dari total potensi kehilangan hasil sepanjang panen sebesar 20,4 persen, akan ada tambahan produksi GKG sebanyak 1,4 juta ton atau setara 2 ons untuk setiap penduduk Indonesia.
Bulog sebagai ujung tombak stabilisasi harga dan ketahanan pangan tidak bisa hanya berpangku tangan. Karena itu, Bulog harus jeli mengantisipasi kemungkinan terjadinya gejolak ekonomi, sosial dan politik akibat lonjakan harga beras nanti. Untuk itulah, asuransi umum dapat berperan aktif dalam menjaga ketahanan pangan nasional, melalui minimalisasi resiko. Pernyataan politis pemerintah ini tentu bukan basa basi. Apalagi tahun 2008 ini dekat dengan Pemilu. Pemerintah tentu tidak akan menarik ucapannya karena bisa membuat kepercayaan publik menurun, dan ini tidak menguntungkan posisi politik penguasa. Jadi bisnis asuransi cukup terbuka untuk sektor agribisnis dan agro-industri.

2.9. Asuransi Nasional dan Program Penanggulangan Kemiskinan
Masyarakat petani dan nelayan yang miskin sudah tentu tidak bankable. Maka sistim personal guarantee yang terbukti sukses diterapkan oleh Grameen Bank di Bangladesh dapat diadopsi di sini. Sistim ini juga sudah disosialisasikan oleh Bung Hatta, Bapak Koperasi Indonesia, melalui pemasyarakatan gerakan koperasi di Indonesia. Sayangnya, gerakan yang bertumbuh dari bawah ini, sekarang dibuat menjadi top down dengan pendirian Departemen Koperasi dan UKM. Untuk mengatasi masalah kemiskinan struktural ini, maka asurasi umum dapat berperan dalam mengurangi dampak fluktuasi harga komoditi pertanian (meminimalisir resiko) seperti yang diatur dalam operasional Lembaga Keuangan Bukan Bank, yang dibutuhkan adalah personal guarantee atau group guarantee sehingga kendala "tidak bankable" dapat diterobos. Dengan demikian, masyarakat petani dan nelayan yang "tidak bankable" dapat tetap mempunyai akses modal dan pemasaran. Menurut Peter F.Drucker : Approach problems with your ignorance, not your experience (Pecahkan masalah dengan apa yang anda abaikan, bukan dengan pengalaman anda) dan If you keep doing what worked in the past, You're going to fall (bila kita tetap bekerja menurut rutinitas, maka bersiaplah untuk gagal ) - asuransi umum harus dapat berfungsi dengan personal guarantee, tanpa itu sumbangannya dalam pengentasan kemiskinan akan sangat minimal.

2.10. Aspek-Aspek Keberhasilan Asuransi Pertanian Nasional
Adapun dalam mendukung keberhasilan dalam pelaksanaan asuransi pertanian yang akan dilakukan, dalam hal ini pemerintah harus aspek-aspek ekonomi, teknis dan aspek social, yang mana aspek ekonomi.
Aspek ekonomi adalah suatu aspek/tinjauan keberhasilan pelaksanaan asuransi dilihat dari segi dan nilai ekonomis yang dihasilkan sebelum dan setelah program tersebut dilaksanakan.
Aspek teknis, merupakan tnjauan keberhasilan program jika dilihat dari segi teknis/operasional pelaksanaan dengan kata lain memandang keberhasilan program dilihat dari tingkat pelaksanaannya dilapangan.
Sedangkan aspek social, merupakan tinjauan keberhasilan dari pelaksanaan program yang dilihat dari pengaruhnya terhadap kondisi social yang ada didalam suatu negara atau masyarakat sebagai satu kesatuan yang saling terintegrasi.
Untuk melihat tingkat keberhasilan dari ke-tiga aspek tersebut ada beberap hal yang muncul dan diidentifikasikan mampu menjadi kendala yang berdampak terhadap keberlanjutan program dalam jangka panjang seperti:
1) Belum terbentuknya mind set petani terhadap asuransi belum terbentuk (menyagkut aspek Sosial budaya)
2) Belum adanya payung hukum pelaksana asuransi nasional dan sampai saat ini tidak ada ketidakpastian tata ruang, sehingga berimplikasi pada kebijakan investasi terutama kepastian akan jaminan bagi investor atas kepastian harga apakah market price atau regulated price yang menyangkut pengemablian modal (aspek teknis)
3) Ciri khas dari sektor pertanian di Indonesia: memilki usaha yg terpencar-pencar, sistem produk bervariasi, skala usaha kecil yang berimplikasi terhadap biaya administrasi dalam usaha asuransi (aspek ekonomi)
4) Keterbatasan data base yang memadai yg mana fungsi dari data base adalah untuk memperoleh informasi dan data komoditas mana saja yg paling dominan rentan terhadap suatu resiko sehingga dapat ditemukan faktor kunci apa saja dalam menentukan rancang bangun produk asuransi pertanian. (aspek teknis)
5) Keterbatasan pengetahuan dan pemahaman akan teknologi yang menyebabkan relatif tingginya peluang terjadinya kegagalan produksi dalam hal ini berhubungan dengan biaya (benefit/cost) mengenai tindakan upaya mengatasi resiko. (aspek sosial budaya, dan ekonomi)
6) Keterbatasan personal yg memilki pengetahuan di bidang asuransi dan usaha tani sehingga berdampak pada adverse selection risk karena kesalahan pemilihan nasabah. (aspek sosial budaya dan teknis)
7) Moral hazard yg berdampak pada unsur usaha kesengajaan dalam proses claim asuransi (aspek sosial budaya)
8) pemanfaatan kredit informal lazim ditempuh oleh sebagian besar para pelaku sektor pertanian (aspek ekonomi, dan social)
9) Ketentuan Risk Based Capital yg masih dianggap memberatkan (minimal 100 milyar) berdasarkan ketentuan yg berlaku dengan tetap memperhatikan regulasi solvensi yang mempertimbangkan alokasi optimal dari modal sesuai dengan sistem berbasis resiko ekonomi. (aspek teknis)
10) Kepercayaan masyarakat terhadap institusi asuransi yg masih sangat kurang (aspek sosial budaya, dan teknis)
11) Nilai dan komposisi APBD juga berpotensi memberikan dampak terhadap potensi permintaan asuransi umum. (aspek teknis, dan ekonomi).
2.11. Macam-Macam Model Asuransi Pertanian
Asuransi Pertanian dalam perkembangannya terdiri dari beberapa jenis, antara lain:
1) Single-risk insurance, yaitu jenis asuransi yang memberikan fasilitas pertanggungan terhadap satu macam potensi resiko, bahkan dua macam yang sifatnya tidak sistemik (atau memberikan dampak kepada sector/bidang lain), misalnya: kebakaran, dan serangan hama.
2) Asuransi kombinasi (resiko), dalam pengertian merupakan kombinasi dari pertanggungan terhadap beberapa potensi resiko (dua atau lebih). Dibeberapa negara jenis asuransi ini sering disebut dengan asuransi multi (multi-risk insurance).
3) Asuransi Keuntungan Pendapatan (Yield insurance), asuransi ini memberikan jaminan dan pertanggungan terhadap resiko-resiko utama yang dapat mempengaruhi produksi dan keuntungan yang ingin diperoleh (misalnya; kekeringan). Besarnya premi yang harus dibayar dihitung berdasarkan catatan keuangan dan keuntungan/laba yang diperoleh atau berdasarkan data dan sumber informasi dari rata-rata keuntungan yang diperoleh secararegional/wilayah dimana pertanian tersebut berada apabila catatan mengenai perkembangan pertanian yang dimilki secara perorangan tidak ada. Jumlah kerugian (premi yang dibayarkan) dihitung berdasarkan jumlah kerugian yang diderita oleh tiap-tipa peserta yang mengalami kerugian secara terpisah, atau besarnya pertanggungan yang akan dibayar dengan besarnya asset yang diasuransikan.
4) Asuransi harga (Price insurance), merupakan jenis asuransi yang pertanggungannya dibayarkan berdasarkan jumlah produksi yang berdampak pada penurunan harga.
5) Asuransi pendapatan (Revenue insurance), merupakan kombinasi antara resiko keuntungan (yield) dengan resiko harga yang mana pertanggungan diberikan untuk suatu jenis produk single yang bisa berupa produk spesifik atau pertanian secara keseluruhan (paket) sehingga akan menjadi lebih murah dibanding jika membeli produk asuransi (antara asuransi harga dan yield secara terpisah), karena resiko yang terjadi umumnya akan menghasilkan dampak yang lebih kecil (keuntungan yang sedikit akan di tanggung /kompensasi oleh harga yang tinggi dan sebaliknya). Umumnya perusahaan yang memberikan fasilitas jenis asuransi ini harus memberikan keternagan tentang distribusi probabilitas/sebaran kemungkinan yang bisa terjadi dalam resiko harga dan keuntungan.
6) Asuransi Usaha Tani Secara keseluruhan (Whole-farm insurance), tipe asuransi ini terdiri dari kombinasi/gabungan beberapa jaminan untuk produk-produk pertanian. Berdasarkan jumlah pertanggungan yang diberikan, pada keseluruhan keuntungan dari usaha tani.
7) Asuransi pemdapatan (Income insurance), asuransi ini untuk memberikan perindungan terhadap usaha tani yang berkitan dengan pendapatan yang akan diperoleh (dengan kata lain bisa berupa hal-hal yang berkitan dengan potensi resiko pada harga dan keuntungan yang ingin diperoleh) sama halnya dengan yang menyangkut biaya pada proses produksi, dan biasanya tipe asuransi ini tidak menjelaskan produk secara spesifik tetapi lebih banyak menjelaskan pendapatan secara keseluruhan.
8) Asuransi indeks (Index insurance), dimana pembayaran pertanggungan nya dilakukan dengan mengukur jumlah potensi keuntungan yang akan diperoleh (yield), ada 3 macam jenis asuransi indeks ini, yaitu: 1) Area yield index insurance, yaitu : besarnya pertanggungan dihitung berdasarkan besarnya penurunan rata-rata potensi keuntungan dalam suatu wilayah, dimana wilayah disini dilihat dari kondisi geografi secra keseluruhan; 2) Area revenue index insurance, pembayarn pertanggungan dihitung berdasarkan besarnya jumlah penurunan produksi atas rata-rata potensi keuntungan dan harga dalam suatu wilayah, dan 3) Indirect index insurance, dimana laporan mengenai indeks diperoleh dari perhitungan indikasi potensi keuntungan berdasarkan laporan cuaca, gambar-gambar satelit, dan lain-lain.
2.12. Skema Asuransi
Dalam perekembangannya, asuransi terdiri dari beberapa skema antara lain:
1. Asuransi harga (Price insurance), yaitu skema asuransi yang perhitungan pembayaran ganti rugi/pertanggungan diambil dari minimal harga yang berlaku (berdasarkan harga transaksi perdagangan yang berlaku.
2. Asuransi kuantitas/jumlah (Quantity insurance), merupakan skema asuransi yang perhitungan ganti rugi berdasarkan minimal keuntungan fisik (umumnya diperuntukan bagi pertanian-pertanian yang bersifat tradisional)
3. Asuransi campuran (antara asuransi harga dan kuantitas barang)
Dalam hal ini skema asuransi berkaitan dengan masalah resiko yang akan datang /potensi resiko yang memungkinkan terjadi, maka jenis investasi merupakan instrument transaksi future hedging yang perhitungannya berdasarkan parameter statistik, sehingga keputusan investasi selalu berdasarkan perhitungan portfolio.

III. Analisa Kasus dan Pembahasan
Adapun profil skema asuransi pertanian dari beberapa negara (salah satunya adalah di eropa) yang bisa dijadikan bahan perbandingan bagi studi pengembangan asuransi pertanian di dalam negeri adalah berupa skema penjaminan (bersama) untuk resiko-resiko yang berkaitan dengan serangan penyakit hewan ternak (Cost-sharing schemes for epidemic livestock diseases) yang telah dilakukan dibeberapa negara di Eropa (European Union). Skema ini merupakan lanjutan dari skema sebelumnya yaitu berupa cost sharing yang bersifat nasional atau regional dengan kriteria yang digunakan berupa skema yang ditujukan untuk resiko terhadap serangan hama penyakit, resiko persaingan pasar/daya saing, resiko kekurangan modal, dan resiko implementasi kebijakan yang bersifat fleksibilitas dan memungkinkan terjadinya berbagai kemudahan perpindahan diantara negara-negara Uni Eropa. Dalam perkembangannya, khususnya di negara-negara Uni Eropa, maka untuk jenis asuransi public berkembang di Spanyol, Italia, Perancis, dan Yunani. Sedangkan di Jerman dan Inggris justru cenderung berkembang asuransi yang dikategorikan sebagai asuransi swasta.
Pada tabel 1 dan 2 dibawah memberikan penjelasan mengenai gambaran/profil pertanian di negagara-negara Uni Eropa, yang mana ke-dua table tersebut menjelaskan bagaimana resiko-resiko yang akan dihadapi akan memberikan kontribusi penurunan pendapatan petani berdasarkan wilayah negara dan pengaruhnya terhadap beberapa komoditas pertanian.
Tabel 1: Significant’s farm income reduction per year by country

Sumber: JRC Scientific and Technical Report, 2008
Tabel2: Significant’s farm income reduction per year by country

Sumber: JRC Scientific and Technical Report, 2008

Sedangkan pada tabel 3 menunjukan perbandingan atas dampak asuransi pertanian terhadap perkembangan asuransi sector pertanian dan perkembangan pertanian itu sendiri di Amerika dan negara-negara Eropa
Tabel 3: Perbandingan hasil dan dampak asuransi pertanian di Amerika Serikat dan Eropa

Sumber: JRC Scientific and Technical Report, 2008 dan JRC Reference Report, 2009
Catatan: EUR 1 = USD 1 273 (September 2006).
(1) Total produksi pertanian sebesar EUR 81 560 juta, EUR 50 154 juta berkaitan dengan lahan pertanian yang telah diasuransikan (di Amerika Serikat)
Sumber: Data diolah oleh CEA (2005) Data, World Bank (2005), Rain and Hail
Insurance Society (2005) and AGmanager.info (http://www.agmanager.info/crops/insurance/risk_mgt/rm_html05/ABksLR.asp
Dari tabel 3 dapat dijelaskan bahwa nilai total produksi di Amerika Serikat sebesar 81. 560 juta EUR jauh lebih kecil dibandingkan di negara-negara Eropa yang besarnya 161.923 juta EUR (sekitar hampir separuhnya dibandingkan dengan produksi pertanian di Eropa), sedangkan jumlah asuransi pertanian yang telah diasuransikan ditunjukan bahwa justru di Amerika Serikat jumlahnya lebih besar dibandingkan di negara-negara Eropa yaitu 37 juta EUR untuk Amerika Serikat dan 36. 73 juta EUR di Eropa (meskipun selisihnya tidak begitu besar). Rasio total nilai asuransi pertanian terhadap total nilai asuransi di Amerika Serikat sebesar 9 persen sedangkan di Eropa sebesar 4 persen hampir separuh lebih kecil daripada di Amerika Serikat. Subsidi di Amerika Serikat sebesar 1.900 juta EUR di Amerika Serikat dan 497 juta EUR di Eropa. Sedangkan rasio/perbandingan nilai subsidi pada harga premi asuransi di Amerika Serikat sebesar 58 persen di eropa hanya sebesar 32 persen di Eropa. Dari tabel 3 juga dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan perkembangan asuransi pertanian di Amerika Serikat lebih maju daripada di negara-negara Eropa.
Untuk lebih jelasnya lagi bagaimana profil dan gambaran perkembangan asuransi pertanian di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa dapat dilihat pada lampiran 1 dan 2.

IV. Kesimpulan
Adapun dari artikel ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Berkembangnya asuransi didasari oelh berbagai dampak resiko dan ketidakpastian yang sering muncul dalam kehidupan manusia, salah satu sector yang sangat berpengaruh terhadap berbagai resiko dan ketidakpastian adalah sektor pertanian, yang mana resiko yang paling sering muncul dan berdampak besar khususnya berpengaruh pada hasil dan tingkat produksi pertanian adalah resiko yang berkaitan dengan iklim/cuaca, dan resiko akibat adanya perubahan harga sebagai konsekwensi dari berkembangnya transaksi perdagan internasional.
2. Asuransi pertanian merupakan suatu program yang sangat dibutuhkan dan penting untuk menjamin keberlangsungan produksi pertanian dan yang pada akhirnya dapat menjamin ketahan pangan nasional
3. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yg sangat beresiko dalam menghadapi berbagai macam perubahan seperti perubahan iklim dan cuaca, perubahan ketidakpastian (uncertainty) pasar sebagai konsekwensi dari struktur pasar persaingan sempurna secara global
4. Dengan asuransi para petani dan pelaku di sektor pertanian dapat memperoleh manfaat yg besar khususnya untuk peningkatan kemampuan petani dan para pelaku mengakses modal, pasar, dan produksi komoditas pertanian
5. Belum adanya skema asuransi formal, yg mana selama ini hanya dilakukan oleh beberapa pihak asuransi swasta dan belum mampu mengatasi dampak negatif dari resiko yg dihadapi oleh sektor pertanian

V. Saran dan Implikasi
Saran yang bisa diberikan berkaitan dengan artikel ini adalah:
1. Berkaitan dengan metode perhitungan pembayaran pertanggungan/ganti rugi penggunaan metode campuran antara penetapan premi berdasarkan harga dan kuantitas produk yang dihasilkan, merupakan suatu metode yang layak untuk dipertimbangkan. Mengingat dengan cara itulah bahwa peserta asuransi dalam hal ini adalah petani bisa menutup potensi kerugian yang secara langsung berdampak pada produksi dan keuntungan yang seharusnya diperoleh, sehingga dengan terjaminnya proses produksi pertanian maka bukan saja berdampak positif bagi si petani itu sendiri (dalam konteks potensi kerugian yang mengarah pada potensi kemiskinan) tetapi juga akan berdampak positif secara makro khususnya berkaitan dengan usaha /program ketahanan pangan.
2. Dalam pelaksanaannya berbagai aspek seperti aspek ekonomi, social budaya, dan teknis juga harus diperhatikan. Karena dengan merujuk pada aspek-aspek tersebut, maka pelaksanaan program setidaknya bisa mengurangi berbagai potensi permasalahan baik secara teknis maupun non teknis yang sering muncul dan menjadi kendala dalam pelaksanaan dan perkembangan program.
3. Dibutuhkan ketersediaan data secara akurat dari sektor pertanian, populasi, penyebaran produksi, produk pertanian, lahan, dan daerah pertanian; dimana data-data tersebut sangat penting dan mendukung khususnya yang berkaitan dengan permasalahan targeting/sasaran objek dari lembaga asuransi terhadap peserta asuransi yang dianggap layak untuk mendapatakan ganti rugi, dengan tujuan untuk mengurangi tingginya adverse selection. Dalam hal ini berkaitan dengan permaslahan moral hazard yang kerap kali muncul dan mengancam baik kredibilitas lembaga asuransi maupun eksistensi dan sustainability dari program tersebut. Sehingga diharapkan profram asuransi dapat diandalkan dan menjadi factor pendukung bagi pembangunan ekonomi nasional di sektor pertanian.
4. Dalam upaya mendukung keberhasilan jalannya program, selain mengandalkan pembayaran premi yang diberlakukan oleh pihak penyelenggara/lembaga asuransi, dalam masalah pebiayaan perlu juga pemerintah memberikan dukungan (dalam bentuk financial) yang berupa penetapan dan penyediaan anggaran dan alokasi dana fiscal/budget khusus untuk melaksanakan program ini. Karena asuransi juga merupakan salah satu bentuk program social security yang diberikan oleh pemerintah dalam melindungi warga negaranya dari potensi dan dampak kemiskinan yang secara langsung mempengaruhi jalannya pembagunan ekonomi nasional.
5. Selain dukungan secara financial, pemerintah juga selayaknya menetapkan payung hukum demi kelancaran operasional program sekaligus menetapkan aturan-aturan yang berlaku dalam rangka mengurangi berbagai konflik dan permasalahan selama program tersebut berjalan.
6. Berkaitan dengan masalah finansial, selain seperti yang telah dijelaskan diatas (dimana diperlukan dana alokasi fiscal), pihak penyelanggara asuransi dalam hal ini juga harus memperhitungkan risk- based capital untuk ketersediaan modal investasi lemabaga asuransi. Karena tidak dapat dipungkiri, bahwa asuransi merupakan salah satu bentuk lembaga keuangan investasi yang fungsinya selain memberikan fasilitas pertanggungan bagi masyarakat dari berbagai potensi resiko, asuransi juga sebagai lembaga investasi jangka panjang yang mengelola dana masyarakat. Sehingga dalam hal ini perlu sekali bagi lembaga asuransi memberikan laporan pertanggungjawaban secara rutin (setahun sekali) kepada masyarakat mengenai dana-dana masyarakat yang telah diinvestasikan ke dalam bentuk polis asuransi dengan tujuan trasparansi dan memberikan tingkat kepercayaan yang besar kepada masyarakat terhadap lembaga asuransi.











Daftar Pustaka


Anderson, Jock. R,. 2001. Risk Management in Rural Development. Review Article. Rural Development Strategy Background Paper # 7. The World Bank Development Departement
Bruce J. Sherrick & Peter J. Barry & Paul N. Ellinger & Gary D. Schnitkey, 2004. "Factors Influencing Farmers' Crop Insurance Decisions," American Journal of Agricultural Economics, American Agricultural Economics Association, vol. 86(1), pages 103-114, 02
Diaz-Caneja, M., Bielza. 2009. Risk Management and Agricultural Scheme in Europe. JRC Reference Report
Joel, C. Lagan. 2004. What is Insurance and Why Do We Need It?. Commercial Insurance Agent - http://www.AimInsInc.com
Morduch, Jonathan. 1999. Between the Market and State:Can Informal Insurance Patch the Safety Net?. Stiglitz Summer Research Workshop on Poverty, Washington DC
Nail, Elizabeth L, et al. 2007. Government Subsidies and Crop Insurance Effects on the Economics of Conservation Cropping Systems in Eastern Washington. Agronomy Journal
Nurmanaf, A. Rozany, et al. 2002. Analisis Kelayakan dan Perspektif Pengembangan Asuransi Pertanian pada Usahatani Padi dan Jagung, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Litbang Deptan
Ogurtsov, Victor A. & van Asseldonk, Marcel A.P.M. & Huirne, Ruud B.M., 2006. "Factors Explaining Farmers' Insurance Purchase in the Dutch Dairy Sector," 99th Seminar, February 8-10, 2006, Bonn, Germany 7774, European Association of Agricultural Economists
Pritchet, S.T., Schmit, J.T., Doerpinghaus, H.I., Athearn, J.L., 1996. Risk Management and Insurance. West Publishing Company, 7th ed
Soetikno, Wendie Razif. 2008. Asuransi Umum dan Pertanian Berkelanjutan, Upaya Menuju Ketahanan Pangan yang Belum Dilirik. Sinar Tani
Van Asseldonk, M.A.P.M., Meuwissen, M.P.M., Huirne, R.B.M., 2002. Belief in disaster relief and demand for a public-private insurance program. Review of Agricultural Economics 24(1), 196-207
Vedenov, Dmitry V. & Power, Gabriel J., 2008. Risk-Reducing Effectiveness of Revenue versus Yield Insurance in the Presence of Government Payments. Journal of Agricultural and Applied Economics, Southern Agricultural Economics Association, vol. 40(02), August
Wenner, Mark and Arias, Diego. Agricultural Insurance in Latin America:Where Are We?. US Agency for International Development (USAID), BASIS-CRSP and WOCCU
http://www.sinartani.com/nasional/banyak-negara-menyubsidi-premi-asuransi-pertanian-1243220589.htm

.